Sabtu, 15 Desember 2012

Menanti Mentari Barat Menuju Timur


Matahariku Kini Berwarna Jingga
Condong Menuju Barat
Kearah Tempat Suci, Surgawi
Kearah Antrian Pintu Mati

Matahariku Bukanlah Kilat Yang Cepat Menyambar
Yang Cepat Datang Dan Pergi Tanpa Belum Sempat Ku Nikmati
Matahariku Adalah Sinar Lembut
Yang Membenamkan Wajahku Pada Lamunan

Jingga Timur Kini Telah Mati
Tak Hadir Lagi Cahaya Di Timurku
Timurku Gelap, Semuanya Gelap
Kenangan Pun Sukar Untuk Di Lihat

Matahariku Menuju Barat, Cahayaku Menuju Barat
Semuanya Menuju Barat
Menuju Antrian manusia Yang Mengantri Tak Beraturan
Saling Sikut, Berebut Meninggalkan Timur

Aku Rindu Pada Timurku
Belum Selesailah Ku Percantik Timurku Dengan Hiasan Kenangan Indah
Gelap Keburu Menyelimuti
Keburu Cahaya Pergi

Aku Rindu Pada Timurku
Rindu Pada Kicauan Burung, Rindu Pada Aroma Masakan Ibuku Untuk Sarapanku
Rindu pada Kenanganku,
Yang Kini Kukenang Hanya Gelap

Tetap Ku Nanti Sesuatu Yang Pasti
Ya Pasti Mentari Akan Kembali
Pasti Kenanganku Terang Lagi
Mentari Barat Menuju Timur Pasti Terjadi




Minggu, 26 Agustus 2012

Perjalanan Titik Tertinggi Tanah Sunda


17 Mei 2012 adalah awal dari akhir minggu yang panjang. Karena pada hari kamis tanggal tersebut ada warna merah yang menandakan proses perkuliah di liburkan. Sehingga membuat akhir Minggu menjadi lebih lama dan yang berarti harus diisi dengan kegiatan yang berbeda dari akhir minggu yang lainnya yang relatif lebih singkat. Harus diisi dengan kegiatan yang lebih berwarna dari akhir minggu lainnya. Warna yang harus lebih cerah ketimbang warna merah yang terpampang di kalenderku di tanggal 17 ini.
Setelah berceloteh beberapa saat akhirnya yang mempunyai niatan untuk memberi warna di tanggal ini adalah Saya, Beni Kurnia Utomo, Nanang Suryana. Sebenarnya ada dua manusia lagi yang mempunyai niatan untuk memberi warna juga di tanggal ini, tetapi niatan mereka pudar diterpa alasan alasan yang menyerang. karena niat kita bertiga sudah bulat, niat kita tetap bertahan tak terpengaruhi oleh hilangnya niat dari kedua teman kita yang tidak jadi ikut.
Untuk kali ini, ketiga dari kita sudah menyepakati untuk memberi warna tanggal ini dengan mengunjungi dan berdiri di tanah tertinggi daratan Sunda, yaitu Gunung Ceremai. Gunung Ceremai adalah gunung tertinggi di Jawa Barat yang terletak di tiga kabupaten, yaitu kabupaten Kuningan, kabupaten Cirebon, dan kabupaten Majalengka. Dengan ketinggian 3,078 (mdpl) gunung Ceremai saat ini masuk kedalam kawasan Taman Nasional Gunung Ceremai (TNGC) yang memiliki luas hingga 15,000 Hektare. Terdengar sangat mengagumkan sekali jika akhir Minggu yang panjang ini diisi dengan perjalanan penaklukan si Besar Gunung Ceremai. Kita akan memulai penaklukan besar tersebut pada esok harinya, yaitu hari Jum'at tanggal 18 Mei 2012
18 Mei 2012 kita bersiap siap untuk melakukan penaklukan tersebut. Sebelumnya kita mempersiapkan terlebih dahulu ransum dan logistik yang akan di bawa. Karena tanpa ransum dan logistik, semangat kita akan percuma dalam proses penaklukan tersebut.
Ransum yang kita bawa antara lain :
1. Beras                                                               9. Sambal Sachet
2. Mie                                                                 10. Kopi Sachet
3.Tempe dan Bumbu Racik                                  11. Teh Sachet
4. Ikan Kere                                                        12. Gula Pasir
5. Telor                                                                13. Gula Merah
6. Tumis-Tumisan                                                 14. Air Mineral 9 liter
7. Minyak Goreng
8. Kecap dan Bumbu Masak lainnya

Peralatan Logistik yang kita bawa antara lain :
1. Golok Tebas 2 Buah                                       11. Sendok 3 Buah
2. Nesting 2 Set                                                  12. Parafin 1 Bungkus
3. Senter 2 Buah                                                 13. Korek 2 Buah
4. Sleeping Bag 3 Buah                                       14. Lilin 2 Batang
5. Tenda Dome 1 Buah                                       15. Baterai 6 Buah
6. Kompor Buaya 1 Buah                                   16. Fly Sheet 1 Buah
7. Kompor Gas Portable 1 Buah                         17. Gas Portable 3 Buah
8. Kompan 1 Buah                                             18. Kompas Bidik 2 Buah
9. GPS 1 Buah                                                   19. Webbing 1 Buah
10. Piring 2 Buah                                                20. Kotak P3K 1 Buah

Untuk mempersiapkan semua itu, kita melakukan persiapan Budget per orangnya, antara lain :
1. Biaya Logistik         : 30,000
2. Biaya Transportasi  :  40.000    +
Total                             70,000

Setelah melakukan persiapan yang terasa matang, akhirnya kita memulai pemberangkatan pada pukul 18.30 di Bunga Mas (Kosan mahasiswa). Dengan ditemani oleh teman yang mengantar yaitu Plendi, Haekal, dan Afif, kita menunggu kendaraan umum yang mengantarkan kita ke terminal Maja, kabupaten Majalengka. Karena kita membuat keputusan untuk mendaki Gunung Ceremai melalui jalur Apuy yang terletak di Kabupaten Majalengka. Sembari menunggu kendaraan umum tersebut kita membicarakan pengalaman Haekal yang pernah mendaki Gunung Ceremai tersebut. Akhirnya pada pukul 19,10 atau sudah hampir satu jam kita menunggu kendaraan yang menuju ke arah terminal Maja, yaitu sejenis kendaraan Elf yang jurusan Bandung-Cikijing. Harga ongkos kendaraan tersebut adalah Rp. 15,000. Didalam kendaraan tersebut sangat sesak sekali, walaupun udara sedikit dingin di malam itu, tetapi didalam kendaraan tersebut sangat lah panas, hal tersebut dikarenakan yang seharusnya kendaraan tersebut memuat 15 orang, tetapi saat itu didalam kendaraan umum tersebut sudah terdapat 25 orang beserta kita. Memang sungguh tidak manusiawi sekali taransportasi di Indonesia, paradigma mereka hanya mencari keuntungan bukan pelayanan. Jadi wajar saja jika saya dan teman teman saya kepanasan. Dan pada akhirnya saya pun harus merelakan kaki saya pegal karena harus berdiri didepan pintu kendaraan tersebut karena sudah tidak ada tempat lagi untuk meletakan pantat saya. Akhirnya setelah memasuki Kabupaten Sumedang banyak para penumpang yang turun, sehingga saya dapat meletakan pantat saya di dalam kendaraan tersebut, dan memungkinkan saya untuk memejamkan mata sejenak sembari menunggu kendaraan ini membawa saya ke terminal Maja.
Pukul 21.30 kita sampai di terminal Maja, karena agak bingung dengan keadaan sekitar yang baru, Kita putuskan untuk nongkrong dahulu di warung angkringan sambil bertanya tanya arah ke desa Apuy. Setelah menghabiskan beberapa gorengan, sebungkus nasi kuning, dan segelas kopi panas. Kita mulai bergegas mencari mobil Pick Up yang akan mengangkut kita ke desa Apuy. Tetapi sebelumnya kita harus berjalan sekitar 500 meter ke KORAMIL tempat biasanya mobil Pick Up ngetem saat malam hari. Kalau bukan malam hari, mobil Pick Up tersebut dapat juga ditemukan di terminal Maja.
Sambil menunggu mobil Pick Up, Kita mengobrol hal apa saja, mulai dari membahas tentang Ospek, Politik, dan apa pun itu agar kita tidak menjadi ngantuk. Ditengah obrolan kita bertemu dengan seorang pendaki yang berasal dari Cijeurah, Bimbim namanya. Dia hanya membawa tas kecil, botol air mineral 600 ml, dan senter korek. Cukup berani juga pendaki yang satu ini. Pendaki yang sudah 8 kali mendaki Gunung Ceremai ini juga hendak ke Gunung Ceremai dan teman temannya sedang menunggu di Pos Araban atau pos 1.
Pos Arban/Pos I
Pos Arban/Pos I
Pukul 12.20 kita akhirnya mendapati mobil Pick Up yang akan mengantarkan kita ke desa Apuy. Harga ongkosnya adalah Rp. 5,000 samapai desa Apuy. Malam itu langit sangat cerah, didalam perjalanan kita seperti tak merasakan lama perjalanan tersebut, karena kita disuguhkan oleh pemandangan malam yang indah, sehingga tanpa kita sadari mobil pick Up sudah samapai di desa Apuy pukul 12.50 atau 30 menit dari KORAMIL. Setelah sampai kita langsung berjalan menuju Pos arban atau pos 1. Kita tidak ke pos jaga terlebih dahulu karena kita melintasi jalur lama sehingga kita tidak dikenakan biaya tiket dan asuransi yang sebesar Rp. 10,000. Udara malam yang dingin, track yang lumayan menanjak ditambah kadar oksigen yang kurang dimalam itu, membuat perjalanan kita menjadi berat. Dan berkali-kali kita bersitirahat sejenak. Setelah berjalan lebih dari 1 jam, akhirnya kita sampai juga di Pos Arban pada pukul 02.08. Dan disana sudah menunggu teman-temannya Bimbim, Langsung saja kita membuat tenda agar lebih cepat beristirahat. Sebelum beristirahat kita disuguhkan terlebih dahulu minuman hangat oleh kelompok Bimbim. Memang ramah adalah titel yang dimiliki oleh pendaki. Pukul 03.00 kita akhirnya bisa memejamkan mata untuk mempersiapkan tenaga di pagi harinya.
Pukul 06.00 di tanggal 19 Mei 2012 saya terbangun oleh suara suara yang sudah terbangun. Udara pagi ternyata lebih dingin dari malam tadi. Untuk tidak kedinginan saya mencari kegiatan saja, yaitu masak. Untuk sarapan pagi kita makan  nasi, telor, dan tumis-tumisan. Cukup untuk mengantarkan tenaga kita ke puncak. Setelah makan kita mencari sumber air di air terjun mati untuk mengisi penuh cadangan air yang akan kita bawa. Sehinga untuk keseluruhan kita semua membawa sekitar 12 liter. Dikarenakan Gunung Ceremai termasuk Gunung yang mempunyai sedikit mata air, kita dipaksa untuk membawa air dari Pos I untuk dapat mencukupi persedian air saat diatas sana.

 Pukul 08.25 kita memulai kembali perjalanan. sedangkan rombongan Bimbim yan berjumlah sekitar 10 orang sudah berangkat dari jam 7 pagi. Track yang kita lalui di perjalanan menuju Pos II tidak begitu curam, Namun karena tubuh baru beradaptasi dengan perjalanan ini, langkah awal agak sedikit berat. Pukul 09.40 atau berselang 75 menit kita sampai di Pos II. Terlihat sedikit kotor di pos ini, sampah sampah pendakian masih terlihat berserakan. Tanpa banyak beristirahat dan selagi tenaga masih belum terkuras banyak, kita langsung melanjutkan  perjalanan menuju Pos III. Sama seperti track pada pos sebelumnya, track yang kita lalui masih relatif landai, walau sesekali menemukan track yang perlu menggunakan kedua tangan dan kaki kita untuk melewatinya. Pukul  10.30 atau 50 menit dari Pos II, kita tiba di Pos III. di Pos III kita bertemu dengan rombongan pendaki lain, mereka menyebut kelompok mereka sendiri dengan nama "Dengkul Reyot". Mereka terdiri dari 3 perempuan, dan 3 lelaki.
 Dan umur mereka relatif di atas 36 tahun ke atas, hanya dua lelaki saja yan terlihat masih berusia 20 tahunan. Mungkin itulah mengapa mereka menyebut nama mereka denagan sebutan " Dengkul Reyot".  Sungguh mengagumkan sekali, dengan usia yang cukup terbilang berumur, mereka masih memiliki semangat untuk mendaki titik titik tinggi nusantara. Dari percakapan kita dengan mereka, kita mengenal bahwa ketua rombongan mereka yang bernama Gan-gan merupakan teman dari senior kita di Pantera (Perkumpulan Pecinta Alam Di FISIP Unpad). Asal mereka pun beragam, ada yang dari Banten, Cirebon, Jakarta, dan Bandung. Sungguh mengagumkan Gunung telah mempersatukan wilayah wilayah nusantara menjadi satu di dalam tubuhnya. Setelah mengobrol sebentar dengan mereka, kita lanjutkan kembali perjalanan menuju Pos IV. Perjalanan menuju Pos IV sudah mulai berat, karena kita sudah agak sering menemukan track yang membutuhkan tenaga lebih untuk melewatinya. Pukul 11.12 atau 42 menit dari Pos III, akhirnya kita menemukan Pos IV. Di pos ini kita agak berlama-lama beristirahat karena kita bermaksud untuk menunggu kelompok "Dengkul Reyot". Di Pos ini juga kita bisa bebincang bincang banyak mengenai perjuangan om Gan-gan yang merupakan mantan aktifis 98', dan mengenai sekitaran alat-alat pendakian. Dari perbincangan tersebut pun, kita mengetahui bahwa om Gan-gan bekerja di salah satu provider alat alat outdoor. Selain hanya berbincang-bincang kita juga disuguhi oleh mereka berbagai hindangan yang mereka bawa, salah satunya adalah roti dan sup cream yang lezat. Setelah puas menyantap hindangan lezat mereka, pukul 12.45 kita melanjutkan perjalanan dan meninggalkan mereka kembali, menuju Pos V.
Pos V (Nanang, Beni, Mamet)
Pos Goa Walet/VI (Beni dan Mamet)
Track menuju pos V pun hampir sama dengan track menuju pos IV, sudah mulai berat. Pukul 13.32 atau berselang 47 menit dari pos IV kita sampai di Pos V. Di Pos ini kita beristirahat agak sedikti lama juga, selain untuk beristirahat kita juga shalat dulu, agar di beri tenaga kembali oleh sang Pencipta. Baru pukul 14.00 kita kembali menuju pos selanjutnya, yaitu pos Goa Walet. Pos terakhir menuju puncak. Sunguh melelahkan sekali track menuju pos Goa Walet tersebut. Jalur menuju pos Goa Walet mulai diisi oleh vegetasi semak dan beberapa vegetasi khas puncak. Ada pula track yang mengharuskan kita merangkak melewati semak yang tebal. Sangat melelahkan sekali sehingga membuat kita sering sekali duduk duduk santai beristirahat melawan rasa lelah. Bahkan di persimpangan antara Jalur Apuy dengan Jalur Palutungan kita sempat tertidur sebentar di jalan karena sangat kelelahan. Untuk terus berjalan dan melangkah, kita memaksakan dan berpura pura tidak lelah. Bahkan kita memaksakan diri tidak boleh berhenti sebelum langkah ke 300. Akhirnya pukul 16.30 atau 2 jam 30 menit dari pos V, kita dapat menginjak pos Goa Walet. Tanpa berlama-lama langsung saja kita membuat tenda di bibir gua, dan juga membagi tugas. Saya dan Beni mencari kayu. dan Nanang memasak.Sebelum mencari kayu saya mencari air dahulu di dalam gua. ternyata air yang kita temukan hanya sedikit sekali karena sumber air di goa tersebut hanya bergantung kepada tetesan air yang menentes dari dinding atas goa, yang menetes begitu lambatnya. Sembari mencari kayu saya dan beni sempat menikmati keindahan sunset yang bisa dilihat di pos Goa Walet ini. Sungguh indah sekali sunset kala itu. warna cerah lembayung sunset dilengkapi dengan panorama awan yang terlihat seperti sebuah bukit yang tinggi menjulang.Sangat luar biasa dan bukan main indahnya. Dan sedang asik asiknya menikmati keindahan yang luar biasa itu, kita bertemu dengan rombongan om Gan-gan kembali, dan dia pun bersedia mengambil foto kita dengan latar sunset tersebut, maklum kita tidak mempunyai kamera. Karena terlalu terbuai menikmati keindahan sunset dan asik berfoto foto, sampai sampai kita lupa dengan tugas mencari kayu. karena agak berlama lama menikmati keindahan sunset gunung Ceremai membuat kita bertemu malam dan kegelapan ketika harus kembali ke tenda kita. kita mencari kayu agak sedikit jauh dari tenda dan diperparah kita berdua tidak ada yang membawa senter, terpaksa kita harus meraba raba jalan yang menurun dan curam terlebih dahulu sebelum melangkahkan kaki. Tapi untung saja ada rombongannya om Gan-gan yang membawa senter dan menolong kita menerangi jalan menuju tenda kita.
Api Unggun di bibir Goa Walet
Pos Gua Walet/ Pos VI
Malam ini langit masih amat cerah, kita masih bisa menyaksikan jutaan bintang yang memperhatikan dari atas sana. Untuk menambah keindahan malam ini, kita membuat perapian dan makan malam yang enak(bagi kami) yaitu ayam walaupun hasil pemberian dari rombongan om Gan-gan yang bertenda di samping kita. Setelah semua kenyang dengan makanan dan obrolan-obrolan jam 21.00 kita mulai untuk merangkai mimpi dan bersemedi mengumpulkan energi, karena besok pagi sekali kita haru bangun dan mendaki ke puncak agar dapat melihat sunrise.
Tanggal 20 Mei 2012 jam 04.30 kita terbangun oleh ambisi kita untuk menuju puncak. langsung saja dengan cepat kita mempersiapkan barang-barang yang akan kita bawa ke puncak, seperti alat masak, minuman sachet, ponco, dan juga senter. Niatnya nanti di puncak kita akan membuat kopi hangat. Baru jam 04.59 kita menggerakan kaki kita menuju puncak. tentunya jalan menuju puncak sangatlah curam, lebih curam dibanding jalan yang kita lalui sebelumnya. Jalan menuju puncak di dominasi oleh bebatuan yang terbentuk berkat aliran larva yang telah mengeras. Dan juga dihiasi oleh tanaman khas puncak dan edelweis.
Puncak (Mamet, Nanang, Beni)
Puncak bersama rombongan Gan-gan
Beni dan saya menikmati lamunan di tepi kawah
Jam 05.18 akhirnya kita berhasil menginjakan kaki kita di tanah tertinggi daratan Sunda. Jika dihitung dari perjalanan awal di pintu masuk gunung Ceremai, kita sudah berjalan selama 7 setengah jam untuk sampai ke puncak. Luar biasa sekali di puncak Ceremai. Kawah yang luas dan awan yang putih pun mengelilingi puncak Ceremai seakan-akan ingin merayakan keberhasilan kami menginjakan kaki kita di tanah tertinggi daratan Sunda. Udara disini sangat dingin, bahkan saya harus memakai 2 jaket tebal.
Saya sedang menikmati kabut di tepian kawah Ceremai
Disini sangat menginspirasi sekali. Sambil meminum minuman hangat yang kita buat dipuncak ini kita menikmati puncak Ceremai. Semakin menambah inspirasi saya dalam melamunkan sesuatu.
Saya dan Beni di bibir Goa Walet
Setelah berpuas diri menikmati inspirasi atau lebih tepatnya lamunan di tepi kawah Ceremai, akhirnya jam 8.50 kita kembali ke pos gua Walet. Karena jalan menjadi licin akibat basah oleh embun pagi dan ditambah jalan yang kita lewati didominasi oleh bebatuan hasil pengerasan larva, saya terpeleset, untung saja tidak terlalu parah jatuhnya saya. tapi barang bawaan yang saya bawa menggelinding jauh ke bawah, dan untungnya lagi kompor portable yang saya bawa tidak mengalami kerusakan yang parah. Maklum barang yang saya bawa adalah barang pinjaman teman saya, sehingga membuat saya sedikit khawatir.
Hanya berselang 10 menit, kita sudah sampai di tenda kita, segera saja tanpa berlama lama lagi kita langsung packing dan membuat makanan, karena pagi hari ini kita perut kita hanya diisi oleh air kopi hangat saja. Kali ini kita makan lumayan mewah (bagi saya jika makan di gunung), yaitu kita makan ayam, abon, dan makarel, sekali lagi makanan itu merupakan hasil pemberian dari kelompok Gan-gan. Memang baik sekali kelompok ini, mulai dari memberi makanan dan bersedia untuk mengambil foto kita. Jam 11.45 kita mulai bergegas menuruni gunung Ceremai, setelah makan dan merapikan barang barang serta setelah membicarakan jalur mana yang akan kita tempuh untuk menuruni gunung Ceremai ini dan keputusannya adalah kita tetap melalui jalur apuy seperti perjalan mendaki kemarin. Perjalanan antara pos V dengan Pos Goa Walet atau Pos VI yang saat kita naiki terasa berat dan ditempuh lumayan lama, kini ketika menuruni agak sedikit ringan dan hanya ditempuh hanya 42 menit. Sedikit istirahat di pos V, jam 12.49 kita mulai melanjutkan kembali perjalanan kita menuju pos IV. Jam 13.19 kita sudah sampai di pos IV. Dan tidak berlama dalam beristirahat langsung kita melanjutkan perjalanan kembali. Jam 13.45 pos III sudah kita datangi. lalu jam 14.26 kita sampai di pos II. dan kita sampai di pos I, atau pos Arban pada jam 15.09. Di pos I ini, kita lumayan lama beristirahat, karena dengan melewati jalur yang menurun tidak membuat kaki kita terbebas dari rasa lelah dan sakit. Di sini juga kita membakar sampah sampah yang telah kita bawa walau cuma sampah yang kita hasilkan sendiri dari makanan yang kita bawa. Baru jam 15.56 kita kembali berjalan menuju pintu masuk Apuy. Saat bersama Bimbim melintasi jalur ini, kita melewati jalur pintas, tapi kini kita berjalan tanpa Bimbim, dan kita sedikit kebingungan dalam mencari jalur pintas yang saat mendaki kita lewati. Akhirnya kita melalui jalan yang umum di lewati pendaki, yang walaupun akan menjadi sedikit lama. Di tengah perjalanan kita menemukan kelompok pendaki dari wilayah Majalengka, yang membuat kita kaget adalah salah satu dari mereka mendaki tanpa alas kaki, Bukan main. Membuat timbul pertanyaan, terbuat dari apa kaki dia?. Dan jam 16.45 kita berhasil turun dari badan gunung Ceremai, setelah berjalan selama 3 jam 45 menit. Jadi jika dibandingkan dengan waktu kita menurun dengan mendaki adalah kurang lebih  dari setengahnya. Untuk menuju ke terminal Maja kembali, kita harus menyewa mobil Pick up yang kita sewa seoranya dikenakan RP. 5000. Kali ini kita ditemani oleh rombongan Majalengka tadi didalam perjalanan menuju terminal Maja. Jam 18.10 kita sampai terminal Maja yang disambut oleh hujan rintik-rintik. Langsung saja tanpa berlama beristirahat kita langsung menaiki mobil elf ke arah jatinangor.Kali ini mobil yang kita tumpangi penuh tapi masih tampak manusiawi, artinya penuh dalam keadaan normal, tidak ada yang berdiri.semuanya duduk dan dapat memejamkan mata dalam menunggu mobil mengantar ke tempat tujuan. Karena mobil berjalan sangat cepat, jam 22.00 kita bisa menghirup kembali udara kota Jatinangor. Dengan ini berakhir pula petualangan kita dalam menaklukan sosok terbesar di tanah Sunda.

Minggu, 17 Juni 2012

Malangnya Gunungku




Longsor,sampah,mobil yang mendaki gunung,pohon tumbang,gundul,warung di ketinggian 2000an mdpl,tukang uduk di puncak gunung,gelembung busa di mata air,coretan pada batu cadas,ukiran tangan di pohon besar yang kesakitan,bahasa kasar yang terdengar oleh telinga gunungku menggantikan kicauan burung yang merdu,serta mahkluk angkuh yang berjalan dengan kedua kakinya menakuti fauna-fauna indah dan flora-flora gunungku. Itulah gambaran ku mengenai nasib malang yang di derita oleh gunung-gunung di Indonesia saat ini.
Sempat berfikir andai tak ada mahkluk angkuh yang berjalan dengan kedua kakinya itu yang pernah menjajaki lekukan-lekukan gunung ku, maka aku pastikan tak akan menangis gunung-gunung ku. Tak akan menjerit gunung ku. Sebab mereka bukan menghibur gunung-gunungku, mereka hanya menghibur diri sendiri, serta membawa awan kelabu peradaban untuk membekap keindahan sang besar. Menjadikan sang besar sebagai medan pertempuran antar prajurit penjaga keindahan dengan pasukan jahat pembawa wabah sindrom “Rusakisalamis sp”  yang menular pada siapa saja. Wabah itu yang sedang menjadi kejadian luar biasa di negeri kita ini. Tapi entah buta atau tuli, kita tak menyadari itu, kita serasa menikmati oleh penyakit yang kita derita. Padahal penyakit itu sudah memberikan dampak yang sangat mengerikan, yang telah menelan korban lebih banyak dari pada penyakit Sars, Flu burung, Flu babi, Aids, dan penyakit modern lainnya.
Apakah kita tuli hingga tak dapat mendengar tangisan dari gunung-gunung itu?. Apakah kita buta hingga tak melihat wajah sang besar yang sedang menahan sakit dari penyakit yang kita bawa?. Aku masih tak tahu tentang arti dari “PA”,apakah pencinta alam atau perusak alam?. Karena banyak sekali penjajak lekukan gunung yang mendaki gunung dengan membawa bendera “PA”,tapi tak mencerminkan seorang yang mencintai alam. Banyak terlahir organisasi-organisasi yang bertemakan tentang kepencintaan alaman. Tapi yang menjadi tanda tanya besar, kenapa semakin banyak terlahir para pencinta alam, semakin banyak pula kerusakan yang timbul. Apakah mereka sadar telah meninggalakan penyakit peradaban pada paru-paru sang besar?.  Penyakit yang diderita sang besar adalah penyakit yang akan memberi dampak buruk bagi kita juga. Entah kenapa kita masih saja tidak menyadari itu. Apakah “PA” terlahir hanya untuk menikmati lekukan indah sang besar saja tanpa harus merawat tubuh itu dari segala macam kotoran yang menempel?.
Kalau memang tugas dari “PA” untuk menjaga keindahan setiap jengakal tubuh sang besar, tapi kenapa banyak sekali noda-noda hitam yang menempel pada tubuhnya?. Tanda tanya besar pula yang menggelantung pada kepala sang besar. Dia pasti bingung kepada orang yang telah mendeklarasikan diri sebagai pasukan penjaga keindahan alam, tapi orang itu pula yang menjadi pasukan pembawa awan kelabu.
Seharusnya mereka lah yang menaburkan bintang-bintang dan bulan di atas kepala sang besar, bukan asap hitam hasil peradaban. Seharusnya mereka tidak hanya memuaskan diri sendiri atas keindahan tubuh sang besar, mereka harus pula memuaskan sang besar dengan perawatan ala salon-salon yang memuaskan tubuh artis ibu kota. Seharusnya mereka yang mengajarkan anak cucu adam untuk berdamai dengan alam. Toh hasilnya pun yang menikmati adalah kita-kita juga.
Itulah harusnya seorang “PA” terlahir, yang tak terlihat di zaman ini. Orang yang menjadi pasukan pengawal keindahan sang alam. Yang menjadi tugas manusia. Karena “PA” adalah kita semua yang menjaga keindahan alam, bukan hanya orang yang berselimut bendera organisasi kepecintaan alaman. Untuk itu seharusnya setiap manusia harus kita ajak untuk mendeklarasikan diri untuk menjadi pasukan pengawal keindahan alam. Karena alam adalah kehidupan kita.

Guruku


Penjaga terang membuka matanya
Menebarkan senyum pada butir-butir air di dedaunan
Mencipratkan wajahku dengan cahaya silaunya
Membebaskan burung-burung dari penjara gelap
Dan menghangatkan tanah merah yang basah

                        Penjaga terang adalah guru
                        Alam semesta adalah kelas
                        Dan aku adalah murid malas yang tak tau apa-apa
                        Aku adalah sebuah pohon kering
                        Dahanku tak bisa lagi menusuk langit
           
Penjaga terang mengajariku tetap berdiri
Tetap menghujamkan akarku pada tanah
 Selalu mengawasiku walau ketidakberadaan terang
Kirimkan matanya pada kegelapan
Mata langit yang terlahir dari cahayanya
                       
                        Penjaga terang memberi tau ku tentang warna
                        Warna ku yang cokelat keabuabuan
                        Warna langit yang biru
                        Warna tanah yang merah
                        Dan warna malam yang hitam

Penjaga terang menjadikan ku sebuah pohon kering
Agar aku mensyukuri pemberian tanah
Agar aku tak terlalu berambisi menyentuhmu
Ambisi yang membuatku angkuh dan lupa
Kepada Zat yang menciptakanmu

                      Penjaga terang mengingatkanku kepada seekor burung
                      Yang menjatuhkan sebutir biji ke tanah
                     Berharap agar aku menjadi pohon raksasa
                     Sekarang akulah biji itu yang telah tumbuh
                    Maafkan aku yang hanya menjadi pohon kering
                     Dan tak dapat dia singgahi

Penjaga terang menyuruhku hidup bermanfaat
Tanyaku”manfaat apa yang bisa diberikan dari sebuah pohon kering?”
Apakah aku bisa menahan erosi?
Apakah aku bisa melindungi sang tupai dari derasnya hujan?
Atau haruskah ku membakar diri
Tuk mengahangatkan kelas alam yang dingin

                        Yah, Aku tak perlu mati terkenal
                        Aku tak perlu mati terkenang
                        Aku  ingin matiku  bermanfaat
                       Ku pikir hidupku tak lagi bermanfaat

Penjaga terang memarahiku
Hidupku masih bermanfaat
Ya,aku masih bisa memberikan semangat hidup kepada alam
Semangat pantang menyerah yang tak terbatas
Dan masih bisa bersujud kepada penciptamu
Tujuan utama aku ada

                        Penjaga terang memberi pelajaran lewat cuaca
                        Aku akan mencoba memberi perlindungan di kala hujan
                        Aku akan mencoba meneduhkan dikala kemarau
                        Aku akan terus berharap adanya musim semi
                        Karena hidup diawali dengan harapan

Di tengah sikutan pohon-pohon tinggi
Aku akan terus berdiri
Karena aku sebuah pohon kering
Tak akan ku hentikan akarku
Tak akan ku hentikan semangatku

                        Dan aku akan terus bermanfaat
                        Sampai ku kembali kepada rumah singgahanku
                        Rumah kesunyian,rumah ketakutan,rumah kegelapan
                        Rumah para cacing-cacing tanah
                        Yang siap memakan jasad-jasad tanah.

Pagi


Dalam Kelembutan Pagi,
Aku Merasakan Semangat Berapi-Api
Dalam Kelembutan Pagi,
Guru Pertama Yang Mengajarkan Warna
Dalam Kelembutan Pagi,
Aku Melihat Cahaya Merah Yang Menerangi Kegelapan
Dalam Kelembutan Pagi,
Aku Mendengar Kembali Keceriaan Yang Sempat Terlelap
Dalam Kelembutan Pagi,
Aku Mencium Kesejukan Yang Menyegarkan
Dalam Kelembutan Pagi,
Aku Dapat Berfikir Jernih Sejernih embun pagi
Dalam Kelembutan Pagi,
Aku Mengetahui Hangatnya Persahabatan Mentari Dengan Bulan,Toleransi Persahabatan
Dalam Kelembutan Pagi,
Membuka Mataku Dari Dekapan Gelap Yang Pekat
Dalam Kelembutan Pagi,
Membangunkanku Dari Dalam Selimut Dingin Yang Membekukan
Dalam Kelembutan Pagi,
Tempat Aku Mengawali Hari Kembali Dengan Senyuman
Dalam Kelembutan Pagi,
Sumber Inspirasi Baik Ku
Dalam Kelembutan Pagi,
Membuatku Semakin Cinta Dengan Pagi

ORANG GILA


Aku benci sendiri
Orang gila pun terlihat selalu sendiri
Dia tak pernah mencoba untuk bunuh diri
Kesendirian tidak membuatnya mati
Sebenarnya dia tidak sendiri
Dia selalu ditemani mimpi
Yang membuatnya nyaman tak mau pergi
Nyaman tak ingin mati
Mimpi menghindarkan dia dari mati
Mimpi menghindarkan dia dari sepi
Mimpi menghindarkan dia dari sakit
Kenyataanlah yang membuat dia sakit
Kenyataanlah yang membuat dia sepi
Kenyataanlah yang membuat dia mati
Mimpi tak pernah menyakiti
Mimpi menemani sendiri
Sendiri tak selalu sepi 

Minggu, 20 Mei 2012

Mt. Ciremai


Di Puncakmu Mataku Memandang Ketidakbiasaan
Sudut Yang Berbeda Dari Pandangan Mata
Sudut Yang Menggetarkan Kepala
Sudut yang Merubah Segala
        Terimalah Tanda Terimakasihku
        Terimalah Tanda Kehadiranku
        Aku Ingin Berada di Dekapanmu
        Membawa Kepada Dinginmu
Aku Ingin Kembali Kepada Kejernihan Ketidaknyataan
Kaulah Ketidaknyataan Itu
Aku Mencintai Ketidaknyataanmu
Seperti Aku Mencintai Sisi Ketidaknyataan Yang Kumiliki
        Kenyataan Adalah Sosok Jahat
        Yang Membuat Marah Amarah
        Yang Membuat Sakit Kepala
        Dan Yang Membuat Perut Mual
Kaulah Yang Memberi Tahuku
Sukarmulah Yang Mengajariku
Aku Ingin Kembali Ke Sisi Sukarmu
Sukarmu Adalah Hidangan
         Akan Ku Lahap Langkah Demi Langkah Kepadamu
         Setapak Demi Setapak Ku Kunyah Jejak Kaki
         Dengan Perlahan Ku Singkirkan Duri
         Yang Menyakiti Gigi Dan Gusi
Tak Akan Kenyang Ku Melahap Hindanganmu
Akan Ku Telan Semuanya Tanpa Sisa
Tanpa Ku Bagi Kepada Letih
Untuk Putus Asa Tak Akan Pernah Ku Bagi
         Tak Akan Ku Biarkan Ragaku Menyerah Menikmatimu
         Ku Biarkan Jiwa Ku Berceloteh Sekeras-Kerasnya
         Agar Setiap Ruang Terpenuhi Oleh Suara Jiwa
         Agar Ragaku Tak Mendengar Kata-Kata Selain Semangat Dan Berjuang
Ambisiku Bukanlah Puncak
Ambisiku Adalah Memaknai Puncak Dengan Perjuangan
Perjuangan Ku Tak Akan Ku Biarkan Usai
Walaupun Di Masa Damai, Perjuanganku Tak Akan Usai
Perjuanganku Adalah Menuju Mati

Sabtu, 10 Maret 2012

Antara Geulis Manglayang




Lama tak terdengar sunyi
Lama tak terlihat diam
Lama pula tak terasa dingin
Mereka terlalu lama terpasung bola-bola asap hitam

Ditengah harapan mereka menangis, kecewa, menderita
Aku adalah setampuk tanah harapan
Kamu adalah setampuk tanah harapan
Kita adalah setampuk tanah harapan yan hanya diam

Berpandang jauh kedepan, berjalan lurus mengejar ego
Tanpa melirik ke kanan kiri
Tanpa menyapa panas, tanpa menegur kebisingan
Dan sama sekali tidak menanyakan kabar pada penderitaan

Setampuk tanah harapan menutup mulut denan tangan sembari terawa dalam dekapan
Menutup mata tertidur diselimuti keganjilan-keganjilan yang menjadi genap dengan panas yang mendidih ubun ubun
Menutup hidung sambil makan steak steak mahal ditengah bangkai bangkai tubuh terpangang air mata
Dan memborgol tangan kaki dengan gelang permata dengan tangan keriput peminta minta

Mereka yang manancapkan pohon-pohon di paru-paruku
Mereka yang melukis disenyumku
Mewarnai bayang bayang di kepalaku
Dan menanam selang oksien disetiap pori-poriku


Demi melidungiku dari marah matahari
Demi meninabobokan ku dari panasnya
Demi membelaku dari murka bumi
Demi menegakan badanku untuk berjalan kesekolah

Setampuk tanah harapan menjadi kosong akan harapan
Aku adalah setampuk tanah harapan
Kamu adalah setampuk tanah harapan
Kita setampuk tanah harapan yang membakar harapan harapan

Membuat gaduh kesunyian
Membuat panas rasa dingin
Sunyi hilang kebisingan datang hingga tak menyisakan sejengkal pun kesuyian
Dingin lenyap hingga panas mendekat menempel erat disetiap partikel melayang layang diudara

Setampuk tanah harapan yang gersang berceloteh tentang kesuburan yang menjadi gersang
Berceloteh terus menerus membasahi tanah gersang dengan ludah ludah penuh minyak sisa ayam goreng yang baru saja dimakan
Tak memberi kesuburan
Berfikir, berceloteh, lalu berjalan mengejar ego, lalu membasahi gersang

Geulis Manglayang yang menjadi kurus tak putus-putus merintih dan menjerit
Terlilit kabel-kabel listrik
Kabel internet yang dipakai menonton video-video porno untuk beronani
Memuaskan diri diapit dua bukit berpenyakit

Geulis tidak lagi segeulis wanita cantik
Seperti didalam film porno yang sering ditonton
Manglayang tak lagi dapat melayang terlilit kabel membelit
Menjerit terjepit bangunan pemberi harapan

Terbaring sakit,
Oksigen dipakai beronani diantrara dua bukit berpenyakit
Tak menyisakan sedikit pada penyakit yang menjerit

Dua bukit berpenyakit berharap meminta harapan yang mati
Dari setampuk tanah harapan yang terisi otak yang berceloteh dan berjalan menejar ego
Harapan.
Sunyi dan sepi
Dingin dan hening
Berdiri dan berlari
Peduli dan empati
Hilang dan lenyap
Terkubur damai, rata tanpa ego, bersahabat kosong