Perjalanan merupakan proses transformasi,
bisa dari hal yang buruk menjadi hal yang baik, atau justru sebaliknya.
Perjalanan bisa saja membuat orang yang sangat berenergi menjadi orang yang
terlihat lelah, atau justru sebaliknya, membuat orang yang terlihat lelah
menjadi tampak berenergi kembali. Marcopolo, Cheng Ho, hingga Tong San Cong,
mereka melakukan perjalanan, perjalanan yang sangat jauh, dan pastinya hal
tersebut membuat mereka menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya. Saya ingin
merubah pribadi saya menjadi sesuatu
yang berbeda. Saya sudah bosan dengan saya yang seperti ini, timbunan lemak
semakin membengkak, mata semakin samar, dan paru-paru yang semakin sesak. Oleh
karena itu, saya ingin melakukan perjalanan panjang, dan dapat merubah diri
saya (dan syukur-syukur dapat merubah sekitar juga).
Sudah lama sebenarnya saya merencankan
perjalanan panjang ini. Ya, sudah lama saya ingin bermesrah mesrahan dengan
sepasang kaki gemuk saya, terakhir kali saya berjalan sangat jauh adalah ketika
saya melaksanakan pendidikan pecinta alam, yaitu pada saat saya masih duduk di
semester 2(saat ini saya duduk di semester 7), waktu itu saya berjalan dengan
kaki saya dari kawasan gunung Kareumbi sampai kampus Fisip Unpad Jatinangor.
Dan kira kira jaraknya sekitar 30 KM. Tapi kali ini keinginan saya lebih
menakutkan lagi, yaitu jalan dari Jatinangor sampai Jakarta, sekitar 200an KM.
Pada
tanggal 8 Agustus 2012,akhirnya rencana
itu bisa saya realisasikan. Tapi kali ini saya tidak berdua saja dengan kaki
saya. Teman saya yang bernama PEBRIYAN a.k.a KOMENG pun ingin merasakan
nikmatnya bercumbu dengan kakinya sendiri yang cukup berbau. Kaki saya juga
sebenarnya cukup berbau, tapi saya tidak mempermasalahkannya dan sampai
sekarang saya sangat amat mencintai kaki saya. Walaupun kaki saya tidak pernah
mengatakan suka sama saya, tapi saya tahu kalau kaki saya sangat menyukai saya
juga. Amiin
Jam 11.08 saya dan kaki saya, dan KOMENG
dengan kakinya juga siap untuk melawan jarak. Perbekalan yang kita persiapkan
hanya lah beberapa saja. Pertama adalah mental, kedua kegilaan, ketiga uang
sebanyak banyaknya(takut dirampok, jadinya harus mempersiapkan uang yang banyak
untuk para perampok), lalu pakaian ganti serta sleeping bag, dan terakhir
adalah pikiran yang pasrah bahwa saya dan kita semua adalah makhluk kecil ciptaan
TUHAN YME. Cuaca sangat terik, mungkin mencapai 35 derajat
celcius. Hitam kulit tubuhku menjadi semakin berwarna. Tidak menyurutkan niat
kaki ku untuk malangkah.
Di pertigaan CILEUNYI, kita mendapatkan opsi
jalan yang harus kita temui, setelah sebentar berfikir kita memutuskan lewat
TOL, karena dirasa lewat Tol itu lebih cepat, dan tidak akan macet, kita
memutuskan lewat gerbang Tol CILEUNYI, tapi setiap keputusan kan selalu
melahirkan konsekuensi. Dan konsekuensinya, Gilee Tol CILEUNYI terlihat seperti
selasar neraka, panas banget, dan kalau melihat lurus
kedepan, aspalnya itu terlihat seperti bergoyang goyang. Walaupun kita sudah
berjalan agak kepinggir dibawah bayang bayang pohon, tetap saja panas masih
sampai kekulit kita. Pohon-pohon di jalan Tol tidak sanggup menahan gempuran
panas matahari. Akhirnya jam 01.08 kita bisa berteduh dibawah jembatan jalan
Tol. Di bawah jembatan jalan TOL tersebut terdapat beberapa pemandangan yang
dapat terlihat. Di sebalah kanan terdapat perumahan yang tampak sepi, mungkin
karena matahari di luar sangat panas, sehingga para penghuni memilih untuk
berdiam diri di dalam rumah, lalu di sebelah kiri terdapat sawah yang maha luas
yang sedang kepanasan berjemur tanpa ada yang memayungi. Dan tepat di bawah
jembatan terdapat rel kereta. Dekat dengan rel kereta tersebutlah kita
merebahkan tubuh sekaligus untuk menikmati indahnya pemandangan kereta yang
lewat. Kereta yang berlari diatas tracknya menjadi pemandangan yang beda,
dan itulah yang menjadikannya indah,
perbedaan memang akan selalu indah. Jadi, jika ada yang mencintai keindahan,
tidak akan ia membenci perbedaan. Lalu setelah sebentar mengisi energi raga dan
pikiran, kita melanjutkan kembali pertempuran ,melawan jarak dan antek
anteknya, yaitu panas matahari.
Selama perjalanan siang ini, banyak hal hal
yang saya temukan, mulai dari bangkai burung burung kecil yang mungkin wafat saat
mencoba berjalan jauh via TOL. Ada juga sungai yang airnya tidak terlihat tapi
yang justru terlihat adalah kumpulan warna warni dari sampah pelastik yang manusia
hasilkan. Dan di sepanjang jalan, saya melihat sawah sawah yang sedang sekarat,
panasnya cuaca ini bukan hanya menyulitkan kami tetapi sawah pun sulit untuk
menelurkan padi. Karena air minum mereka sudah habis diminum oleh panas
matahari yang sangat sedang kehausan. Egois sekali pikir saya. Panas matahari
tidak menyisakan setetes saja untuk para sawah kering.
Tetapi setelah berjalan agak kedapan sedikit
saya melihat bangunan yang sangat besar. Otak saya langsung berfikir, apakah
habisnya air minum sawah kering bukan ulah dari panas matahari, tetapi oleh
Bangunan besar yang duduk di tengah tengah sawah itu, Bangunan yang namanya
masih menjadi perdebatan, Gelora Dada Rosada. Bangunan itu memang belum tumbuh
dewasa, karena pembangunannya masih dalam proses. Apakah dia yang menghabiskan
air minum sawah kering?. Insting detektif saya langsung bekerja, dan mencium
keserakahan didalam diri bangunan itu. Sudahlah, saya harus melanjutkan
perjalanan saya, saya harus sudah berada di gerbang TOL PADALARANG secepat
mungkin jika tidak mau bertemu malam ditengah jalan TOL yang terkenal angker.
Semakin matahari menuju ke arah barat semakin
cepat juga kita melangkah. KOMENG yang badannya lebih kurus dibanding betis
saya yang besar berjalan sangat cepat, seperti terbawa angin dan bagaikan
berjalan di udara tanpa menapak pada tanah. Saya yang badannya lebih besar dibanding
betis saya, harus bersusah payah mengejar aklerasi KOMENG. Di tengah jalan TOL
pun kami bertemu dengan manusia lain selain saya dan KOMENG. Yakni petugas
DLLAJ yang sedang bertugas mengamati aspal jalan TOL, saya kira kita akan
dimarahi olehnya, karena berjalan di kawasan kekuasaan dia tanpa ijin darinya.
Tetapi kita justru mendapatkan jempolnya dan pujian dari dia yang membuat saya
sedikit lebih bersemangat. Bahkan dia menawari kita tumpangan di atas mobil
patrolinya. Jelas saja kata “Tidak dan terimakasih” yang keluar dari mulut lugu
kami yang sedang bersemangat berjalan melawan jarak.
Jam 04.30 sampailah kita di jalanan selain
jalan TOL yang menyuguhkan jalanan tanpa kemacetan yang membuat kita bosan.
Kita sangat merindukan kemacetan dan suara klakson kendaraan yang tidak bisa
bersabar. Dan bunyi bunyi klakson yang ramai itu bisa kita dengar di jalan BUAH
BATU yang tepat berada di bawah jembatan jalan TOL. Kita beristirahat sejenak disana
dan sekaligus juga mengobati rasa rindu kita untuk melihat manusia dan mendengar
suara keras klakson kendaraan yang tak bisa bersabar. Walaupun dijalan TOL kita
juga mendengar klakson klakson itu, tetapi klakson yang kita dengar di jalan
TOL tidak sehidup bunyi klakson yang kita dengar di jalanan biasa. Coba saja dengarkan
dengan menempelkan telinga di aspal. Suara klakson tersebut sedang
berkomunikasi, dan komunikasi klakson di jalan yang macet lebih bervariasi,
yang didominasi dengan kominukasi yang tidak pantas didengar oleh anak-anak
dibawah usia 18 tahun.
Melanjutkan perjalanan kembali dari BUAH BATU
kedepan sebentar, kita bertemu dengan jalanan biasa lainnya yaitu Jalanan MOH
TOHA dan sejam kemudian kita menemukan jalan
KOPO. Di jalan KOPO itulah kita mendapatkan makanan malam kita untuk
menambah energi kita. Warteg yang kita temukan di KOPO seperti pom bensin bagi
kendaraan. Kita makan sangat rakus sekali, karena tidak mau kelaparan
setelahnya. Tidak mau kata “lapar” menjadi alasan saya kalah dengan jarak dan
antek anteknya.
Berniat tidak menemukan malam di tengah TOL,
tapi niat itu selalu saja bertentangan dengan apa yang kita dapati. Akhirnya
kita bertemu juga dengan lawan berat kita, malam hari. Meskipun pertempuran
dengan panas matahari sudah berhasil kita lalui, tapi kini pertempuran akan
lebih menguras mental, kita akan menghadapi dinginnya malam yang angker. Benar saja memang malam sangat ganas, kaki
kaki kita menjadi susah untuk digerakan terhalang oleh rasa dingin yang membuat
kita sedikit keram. Dan puncaknya ialah sekitar di KM 125an, KOMENG mencium
melati bercampur dengan bau selokan yang kata kebanyakan orang menandakan ada
mahkluk yang lebih kesepian dibanding manusia, yang sering berseragam putih
panjang, dan selalu berambut lebat hitam panjang hingga menyentuh tanah. Karena
hal itulah kita memutuskan untuk meninggalkan jalan TOL, menuju jalan CIMAHI
yang banyak orangnya. Disana pula kita memutuskan untuk bermalam, karena memang
sudah sangat lelah, kaki seperti habis berjalan diatas bara, kaki pun terlihat
pucat seperti anak sekolahan saat menerima pelajaran fisika dan meminta waktu istirahat.
Tempat yang menjadi incaran kita bermalam
adalah pom bensin, tepatnya musolah yang berada di pom bensin. Setalah
mendapati pom bensin yang kita rasa cocok untuk kita tiduri, langsung saja kita
menanggalkan sepatu kita, bersih bersih kaki dan wajah yang penuh dengan
kotoran, dan siap siap berbaring. Sayang, saat sudah hampir membaringkan tubuh
yang rapuh ini, penjaga pom bensin merusak suasana, dia mengusir kita dengan
tanpa belas kasihan, katanya perusahaannya tidak mengijinkan siapa saja untuk
tidur di wilayah kerja dia. Sial, kemana lagi kita harus membaringkan tubuh,
rasanya seluruh anggota tubuh menangis dan menolak untuk digerakan lagi.
Setelah mata mencari cari tempat sambil
mengeluarkan air mata, dimana lagi tempat yang cocok untuk tubuh kita. Akhirnya
tidak jauh dari tragedi pengusiran itu, kita menemukan Masjid yang mungkin saja
mau menampung kita. Dengan perlahan lahan, dan celingak celinguk, kita mulai
membaringkan tubuh didalam masjid itu. Tidak mau tragedi pengusiran terulang
lagi, kita meminta ijin terlebih dahulu kepada orang yang sedang menggaji
dengan memasang wajah penuh kasihan. Jam 11.00 kita berhasil dapat memenjamkan
mata yang sudah sangat lelah. Dan berharap dapat bermimpi indah berada di dalam
Surga, mumpung sedang tidur di dalam rumah Tuhan.
Tanggal
9 Agustus 2012 jam 04.30 kita bangun sangat pagi
sekali, karena kita tidak mau mengagetkan jemaat Masjid tersebut melihat 2
sosok tubuh yang menyerupai mayat tergeletak disudut Masjid mereka. Dan kita
pun sekalian mencari makan sahur. Karena bulan ini adalah bulan puasa, oleh
karenanya kita harus sahur (puasanya belum tentu sih). Ternyata berjalan di
pagi buta memang terasa lebih ringan, udaranya sangat sejuk, sangat memanjakan
paru paru saya yang selalu bekerja keras menyaring udara kotor. Suara bising
kendaraan masih sangat sedikit. Sangat memanjakan telinga yang selalu bekerja
keras menabuh gendang. Keluar dari jalan TOL membuat kita tidak tau arah, kita
lebih sering bertanya kepada orang orang sekitar. Tapi malah menimbulkan
pertanyaan, apakah jalan yang ditunjukan oleh orang orang adalah jalan yang
lebih cepat atau justru lebih jauh. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya
harus mencari pom bensin, masuk ke dalam toilet dan mulai merenung sambil
berjongkok melepaskan celana dan celana dalam saya dan mulai mengendan, dan terdengar bunyi cemplung,, cemplung... yang menandakan pertanyaan tersebut telah
terjawab. Dan jawabannya adalah tetap ikuti apa yang orang katakan.
Sampai 2 jam berjalan kita belum juga
menemukan jalan yang mengarah ke padalarang pada umumnya, masih berkutat di
jalanan kecil, sampai sampai kita harus mengelilingi bukit. Sepertinya jalan
yang kita pilih membuat perjalanan semakin jauh. Dan tepat jam 07.00 pagi saat
matahari sudah sangat terbit, kita berhasil mencapai jalan yang besar, jalan
raya utama PADALARANG- CIANJUR.
Perjalanan kita lanjutkan kembali setelah sebentar menikmati keberhasilan
menemukan jalan yang di-idam-idamkan dari semenjak Shubuh tadi. Memang terasa
lebih ringan jika kita melakukan perjalanan dengan adanya kepastian langkah,
tidak seperti sebelum menemukan jalur utama,kaki dan pikiran terasa sangat
lelah. Jam 10.00 kita kembali beristirahat di musolah kembali yang terletak
didepan situ CIBURUY,PADALARANG. Istirahat kali ini bukan hanya sekedar duduk
duduk saja, tapi kita memutuskan untuk tidur siang, seperti yang dilakukan oleh
orang Portugis dan Belanda.Melihat wajah saya di cermin, mengingatkan saya
dengan cerita Tong San Cong yang melakukan perjalanan juga dengan murid-muridnya.
Pada Scene sewaktu Tong San Cong berjalan diatas gurun pasir, dia terlihat
lelah dan dahaga sudah meronta-ronta, untuk memuaskan dahaga gurunya,
murid-muridnya memberikan air kencingnya untuk gurunya minum. Mungkin wajah
Tong San Cong waktu itu hampir serupa dengan wajah saya pada cermin Musolah. Kerasnya
perjalanan Tong San Cong dengan perjalanan saya hampir serupa, tetapi
perbedaannya, perjalanan yang dilakukan Tong San Cong bertujuan untuk
meperbaiki kualitas iman ummat manusia, sedangkan saya untuk memperbaiki iman
saya sendiri, hehe Amiin.
Jam 12.00 suara Adzan membangunkan mimpi
kami, langsung saja dalam setengah kesadaran setelah bermimpi saya membasuh
wajah saya mengerjakan ritual Wudhu dan dilanjutkan Shalat Dzuhur berjamaah.
Parahnya, teman perjalanan saya masih tertidur, meskipun orang-orang yang
memiliki kans ke Surga lebih besar darinya sedang Shalat tepat disampingnya,
dia tetap tak bergeming melanjutkan tidurnya.Karena malu, saya membangunkan
KOMENG yang wajahnya sudah penuh dengan air liurnya sendiri dan langsung saja
melanjutkan perjalanan menuju barat.
Di sepanjang jalan PADALARANG kita dapat
melihat sesuatu yang unik, yaitu truck-truck tua renta masih harus menikmati
masa tuanya mengangkut batu-batu besar hasil penambangan. Truck-truck tua yang
konon sudah ada saat zaman penjajahan dulu. Mengapa mereka tidak pensiun? Sudah
setua itu, mereka harus mengangkut beban yang berat. Apakah mereka tidak
memiliki pengganti?. Sedikit sedih melihat pemandangan seperti itu, perbudakan
masih amat sangat dekat dengan peradaban yang kita nilai modern. Dengan
apatisnya, kami berfoto-foto suka cita didepan kesengsaraan mahkluk tua itu.
Sepertinya nilai sentimetil yang saya miliki sudah saya sentil menjauh dari dalam diri saya. Kasihan truck-truck tua itu,
“Maafkan kami pak, karena kami berfoto-foto di depan kesengsaraan anda, lain
kali kami tidak akan melakukan hal itu kembali. Kami berjanji” kataku sebelum
meninggalkan pemandangan yang super menyedihkan itu dan melanjutkan perjalanan
ke barat.
Di tengah perjalanan kita juga sempat bertemu
orang gila yang kesepian yang sedang melakukan perjalanan jauh juga sama
seperti kita, tetapi yang membuat beda adalah, dia berjalan dengan wajah yang
muram, sedangkan kita selalu memasang wajah senang bahagia. Itulah yang
membedakan manusia waras dengan yang gila. Sebelum mengetahui orang itu adalah
orang gila, kita hampir saja tersulut emosi olehnya karena ia terus memandangi
kami dengan tatapan sinis dan tidak bersahabat, untung saja perjalanan ini
mengajarkan kami untuk menahan emosi, dan oleh karena itu konflik berhasil kami
hindari. Orang gila itu berpakaian bersih tidak seperti orang yang disebut gila
pada umumnya, memakai polo shirt bermotif garis hitam dan putih, dan memakai
celana sotong ¾. Sekilas memang tampak tidak gila, tetapi setelah diteliti
lebih cermat, perilakunya aneh, memandang orang lain dengan sinis, dan sesekali
mengais tumpukan sampah, entah apa yang dia cari dari tumpukan sampah itu.
Selain orang gila yang kami temui, ada juga
ROBI teman satu kontrakan dengan kami. Ia sedang melakukan perjalanan ke
rumahnya di SUKABUMI dengan menggunakan sepeda motor yang bermerk Y*m*h* M*o.
Katanya dia sudah berjalan selama dua jam sebelum bertemu dengan kami, sedang kami
butuh waktu hampir dua hari sebelum bertemu dia. Senang bertemu teman yang
sudah dua hari ini tak kami temui, beruntung dia masih mengingat wajah kami,
yang sudah sedikit berubah dari sebelumnya. Sayang dia lebih mencintai motornya
ketimbang kami. Dia lebih enggan meninggalkan motornya dibanding menemani kami
berjalan. Karena kami sudah diajari oleh perjalanan ini untuk menghargai
keputusan orang lain meskipun kadang menyakitkan kami. Kami ikhlaskan kepergian
teman kita ROBI untuk bertemu keluarganya di SUKABUMI. “Semoga pertemanan kita
tetap berlanjut walaupun kamu meninggalkan kita sendiri, dan hati-hati dijalan
kawan”. Tanpa tambahan personil, kita tetap melanjutkan perjalanan ke arah
barat yang telah menjadi niat kita.
Kaki yang letih ini, kami paksa melangkah
lebih cepat lagi agar tidak menemui malam di wilayah sepi sekaligus menyeramkan
di PADALARANG. Kami tidak ingin bertemu mahkluk nokturnal yang jahat. Di
wilayah yang sepi ini, yang di kanan dan kirinya adalah hutan semak belukar
merupakan tempat idaman mahkluk nokturnal yang jahat melancarkan aksinya untuk
menindas kaum yang lemah dengan menguras harta bawaanya. Oleh karena itu ketika
menemui keramaian di RAJAMANDALA hati kita bersuka ria. Meskipun keramian belum
tentu aman, pikiran mainstream kita menilai sepi lebih tidak aman. Karena
manusia merupakan mahkluk sosial, maka mereka akan merasa lebih nyaman dan aman
ketika bersama manusia yang lainnya. Teori tersebut saya kira sudah bertahan
beribu-ribu tahun, tetapi di zaman ini, teori tersebut mulai menemui
pertentangan.Sudah banyak kasusnya, manusia direnggut rasa aman dan nyamannya
ketika berada dalam keramian.
Jam 23.00 kita putuskan untuk mencari tempat
bermimpi. Dan sama seperti malam sebelumnya, tempat yang kita incar adalah pom
bensin atau mesjid yang mempunyai kemurahan hati. Akhirnya kita menemui masjid
dengan kriteria yang cocok untuk kita bermalam. Sayang, masjid tersebut
terkunci, dan memaksa kita untuk tidur di selasar masjid yang terasa dingin.
Tetapi alangkah bahagianya kita, ketika KOMENG menemukan kunci masjid tersebut
diletakan di atas pintu. Memang orang baik itu selalu dimudahkan oleh TUHAN.
Dari kasus itu, saya mulai menyadari bahwa saya adalah orang baik. Dan
seterusnya saya harus melakukan apa yang biasa orang baik lakukan. Lalu
masuklah kita ke dalam masjid dan mulai bersiap menghadapi mimpi.
Tanggal
10 Agustus 2012 jam 04.00 kita terbangun. Dan belum
sepenuhnya sadar dari mimpi, kita sudah dijejali oleh pertanyaan yang tidak
bersahabat dari orang yang pertama kali masuk masjid. Mungkin dia terkejut saat
menemui dua orang asing yang dekil berada dalam masjid tempat suci yang biasa
dia gunakan untuk mengobrol dengan TUHAN. “ Siapa kalian, ko bisa masuk ke
sini? Bukankah masjid ini terkunci jika malam hari?” katanya dengan nada yang
sinis. “ Maaf pak, kita sedang malakukan perjalanan menuju barat, Eh maksud
saya Jakarta. Kita dari Jatinangor, Sumedang pak. Kita tadi malam butuh tempat
untuk bermalam pak, karena tidur di selasar sangat dingin, jadi kita tidur di
dalam pak, kita menemukan kuncinya berada di atas pintu. Tetapi semalam tidak
ada orang untuk dimintai izin pak, jadi pikir saya, kita minta izinnya nanti
saja pak, saat ada yang ke masjid” jawab
saya dengan memasang wajah menyedihkan berharap dapat dimaafkan oleh bapak yang
sudah dipenuhi rambut putih di sekujur kepalanya. Pertama kali saya melihat
dia, saya mengira dia adalah malaikat yang menghuni masjid ini, soalnya, dia
memakai stelan serba putih. Takut dia semakin marah, kita melanjutkan
perjalanan lagi, setelah Shalat Shubuh.
Tidak jauh dari gapura selamat datang
CIANJUR, tidak jauh dari jembatan yang di bawahnya terdapat sungai yang airnya
cokelat, saya harus merelakan kepergian KOMENG yang memutuskan meninggalkan
saya demi memuaskan rasa lelahnya dan rasa rindunya kepada Jakarta. Saya tidak
bisa berbuat apa-apa. Slogan-slogan yang biasa digunakan oleh politisi untuk
membujuk masyarakat pun sudah saya gunakan, tetap KOMENG tidak bergeming dan
dengan keteguhan hatinya, ia memutuskanmeninggalkan saya sendiri. “ Each man
faces everything by himself alone” kata otak saya kepada saya agar kuat
merelakan KOMENG pergi, agar kuat merelakan semuanya nanti pergi, termasuk kenangan
dan nyawa saya kelak.
Sambil memandangi pantat bus yang KOMENG
naiki menuju barat, saya melanjutkan langkah saya. Jam 06.00 tepat saya seorang
diri melawan jarak. Perjalanan yang dilakukan oleh seorang manusia memang pada
hakikatnya dilakukan seorang diri. Dari perjalanan ini saya dapat memaknai
sebuah perjalanan. Perjalanan ini bagi saya sama saja seperti perjalanan hidup,
keduanya adalah sebuah perjalanan, hanya saja perjalanan ini berakhir di
JAKARTA, sedangkan perjalanan hidup berakhir pada ajal. Tetapi di tengah
prosesnya lah yang dapat memberi warna khas pada sebuah perjalanan, bukan pada
akhirnya. Jika kedua perjalanan tersebut ingin saya buat menyenangkan, saya
harus melakukan sesuatu yang menyenangkan di tengah prosesnya meskipun sedang
berada pada suasana yang menyedihkan.
Dengan berjalan sendiri rasa bosan dan sakit
mulai menggrogoti tubuh dan pikiran, apalagi ditamabah rasa kesal dan benci
karena sepanjang perjalanan mata saya selalu disuguhi gambar foto wajah bahagia
para petinggi pemerintah dengan slogan-slogan yang tidak kongkrit. Banner
rakasasa yang menghiasi jalan membuat perjalanan saya agak sedikit berat. “Maaf
bapak yang terhormat, dengan menunjukan wajah ceria anda dan slogan-slogan
manis yang absurd, tidak akan membuat kami yang buta aksara memilih anda”. Kata saya dalam hati untuk mengekspresikan
ketidak sukaan saya terhadap hal yang sangat mengganggu pemandangan perjalanan
saya. Saya pikir dibanding harus menjadi wakil rakyat, lebih baik mereka
menjadi model produk iklan yang selalu bahagia mempromosikan produknya. Senyum
yang tidak mempunyai empati ketika di bawah banner raksasanya masih ada
gelandangan yang berwajah muram menahan lapar, masih ada petani yang berkeluh
kesah memanen padi yang tidak dapat merubah nasibnya.
Jam 09.00 pagi saya bertemu dengan distrik
yang cukup ramai dengan toko-toko dan bangunan lain. Distrik tersebut bernama
CIRANJANG. Daerah yang cukup sunyi meski sudah amat pagi. Orang-orang yang
berlalu-lalang tidak terlalu banyak. Kendaraan pun turut bersembunyi, hanya
sedikit yang berani menampakan diri. Di distrik tersebut saya juga bertemu
dengan wajah yang familiar, orang gila yang saya temukan di PADALARANG kembali saya
lihat. Masih dengan pakaian yang sama, polo shirt dengan motif garis hitam
putih dan celana sotong ¾ berwarna cokelat. Dan masih mengenakan mimik wajah yang
sama, sinis, muram dan tidak bersahabat. Selalu saja dia mengais-ngais tumpukan
sampah untuk mencari sesuatu yang sampai sekarang tidak saya ketahui. Yang
masih membuat saya heran adalah, apa yang ia cari dari perjalanan jauh dari
PADALARANG hingga ke CIRANJANG saat ini. Apakah ia juga terinspirasi dari
cerita Tong San Cong yang melakukan perjalanan untuk meperbaiki kualitas iman?.
Terlintas dalam hati untuk menyapanya dan bertanya-tanya tentang tujuannya.
Tetapi pikiran saya berkata lain, untuk mengurungkan niat hati, pikiran saya
memberitahu saya bahwa saya dan orang gila tidak boleh menjalin komunikasi,
karena hal itu dapat mengganggu kestabilitasan pikiran saya. Saya takut nanti
orang gila itu mencuci otak saya untuk bergabung dengan kelompoknya. Lalu tanpa
bertegur sapa saya meninggakan orang gila itu dan melanjutkan perjalanan menuju
Kota Cianjur yang konon dihuni oleh ribuan gadis cantik.
Di dalam perjalanan ini, karakter yang saya
miliki bukan hanya serupa dengan Tong San Cong, yang menginisiasikan perjalanan
ke barat, atau serupa dengan Sun Go Kong, yang berani menghadapi segalanya
sendiri. Tatapi terdapat juga karakter yang serupa dengan pangeran besar Tiang
Feng atau Cu Pat Kai, yang mengharapkan bertemu bidadari di dalam perjalanan
ini. Bidadari CIANJUR menjadi salah satu motivasi saya untuk kuat berjalan.
Melawan rasa bosan dan sakit di tubuh. Kabar yang saya dengar, dahulu kala
banyak orang Belanda yang bermukim di wilayah CIANJUR, sehingga mereka
berinteraksi dengan warga lokal dan menghasilkan keturunan campuran yang
sempurna. Oleh karena itu Kota CIANJUR termasuk salah satu Kota di Indonesia yang
diisi oleh gadis-gadis yang cantik.
Dalam perjalanan menuju Kota CIANJUR, suara
hati saya selalu menyemangati saya, dan mendorong saya untuk berdisiplin dalam
menentukan waktu istirahat. Hati dan pikiran saya membuat peraturan, yaitu
setiap 15 menit sekali pantat besar saya boleh diletakan di tanah, dan waktu
untuk pantat saya tergeletak di tanah juga ditentukan, yaitu hanya 5 menit lalu
melanjutkan perjalanan kembali. Dengan peraturan seperti itu, jam 14.00 saya
beserta anggota tubuh saya berhasil mencapai CIANJUR Kota, tidak ada satu
potongan pun yang tertinggal dari bagian tubuh saya. Setelah perjuangan yang
hebat, mata saya disuguhi oleh sesuatu yang berbeda, tidak hanya banner raksasa
petinggi pemerintah dan advertise board kapitalis yang menjengkelkan, tetapi
terdapat juga gadis-gadis CIANJUR yang dapat dilihat. Tidak banyak memang
gadis-gadis yang berkeliaran di jalanan, tatapi hal itu cukuplah untuk
menyegarkan pemandangan saya yang terkontaminasi racun banner petinggi
pemerintah dan advertise board kapitalis. Mugkin mereka banyak yang sedang
berada di dalam rumah, karena cuaca yang konsisten panas ini membuat mereka
mengurungkan niat untuk keluar rumah. Mereka khawatir panas matahari membakar
kulit haritage Kota CIANJUR yang
sangat berharga.
Untuk menghormati Kota cantik ini, saya
memutuskan untuk mandi membersihkan segala ketidak sucian yang menempel pada
tubuh, pikiran dan hati saya. Dan tempat yang dituju untuk melakukan ritual
tersebut adalah pom bensin yang berada tidak jauh dari persimpangan BOGOR,
SUKABUMI, CIANJUR. Ritual mandi harus saya lakukan dengan khusu’, tidak boleh
ada sejengkal pun dari daerah tubuh saya yang tidak terkena sabun cair B*or*.
Tidak boleh ada satu helai pun dari rambut saya yang tidak terkena shampoo
harum P*nt*n*. Dan tidak boleh ada satu biji pun dari tulang kuat dalam mulut
saya yang tidak tersikat sikat gigi plus pasta gigi P*ps*d*nt. Semua harus
bersih, luar dan dalam. Setelah semuanya di basuh dengan air, tidak lupa
sekujur tubuh saya saya keringkan dengan kanebo kering yang sengaja saya
pergunakan sebagai handuk.
Bersih lah saya sekarang, dan lalu saya harus
beristirahat di pinggir pom bensin sembari melihat keindahan Kota CIANJUR
(meski yang terlihat hanya kendaraan dan pedagang kaki lima). Barulah jam 16.00
kembali kaki saya meminta saya untuk melangkah lagi. Mungkin sudah puas dengan
Kota CIANJUR, sekarang kaki gemuk saya meminta untuk diberangkatkan ke CIPANAS.
Jalan menuju CIPANAS mulai menunjukan hal yang berat, jalan menanjak akan saya
hadapi sampai waktu yang tidak ditentukan. Mulai dari sini, kaki gemuk saya
akan sangat diuji ketahananya. Dan pikiran saya akan diuji kecerdasannya dalam
mengkontrol tubuh saya, dan tentu hati saya akan sangat diuji pula keteguhannya
untuk tetap berusaha tanpa mengeluh. Sakit pasti akan terasa jika pikiran saya
mengalah dengan perasaan itu. “Sakit hanyalah sebuah ilusi, ilusi itu berasal
dari pikiran” hati saya berucap ketika pikiran hampir saja menyerah oleh rasa
sakit. Memang jalan menanjak itu menguras tenaga dan pikiran, berulang kali
hati menggagalkan pikiran dan tubuh untuk menyerah oleh rasa sakit. “ Sakit
hanya lah konsep, konsep itu berasal dari pikiran, jika konsep dalam menentukan
rasa sakit itu diganti dengan konsep yang membentuk rasa senang, maka jalan menanjak
akan sangat menyenangkan” sekali lagi hati berceramah untuk menyemangati
pikiran dan tubuh yang sekilas tampak
seperti tubuh yang tidak mempunyai tuan, berjalan gontai seperti tak bertulang.
Jam 18.00 saya mendengar suara yang paling
menyemangati, yaitu suara Adzan Maghrib. Suara merdu yang mendirikan saya dari
duduk saya, dan segera saya berhenti di Masjid yang sangat ramai. Sembari
mengistirahatkan tubuh, saya juga mengistirahatkan hati menghadap yang Maha
Kuasa. Sungguh nikmat sekali berwudhu ketika dalam keadaan lelah, tanpa
disadari ada beberapa tetes air yang tertelan masuk kedalam kerongkongan saya.
Selesai menjalankan Shalat Maghrib, saya langsung saja menuju ke warung kopi
yang sudah agak menjauh dari cahaya terang, warung yang agak sepi. Kemudian
saya memesan mie rebus dan tentu saja kopi hitam agar mata tetap melek kita
berjalan malam hari. Warung kopi tersebut dihuni oleh pasangan suami istri yang
sudah sangat paruh baya, mereka sudah berjualan sejak tahun 1996. Dari cerita
mereka, dahulu jalanan yang ada disini sangat menyeramkan, tidak ada penerangan
sama sekali, tidak seperti saat ini, yang sudah banyak bangunan yang terang
benderang di kanan dan kiri jalan. Ada spot yang paling seram di sepanjang
jalan ini, yaitu tepat di jembatan yang tidak jauh ari warung kopi mereka. Tempat
yang sering ditemukan penampakan mahkluk yang lebih kesepian dibanding manusia.
Di sana juga pernah menjadi tempat shooting
program uji nyali yang disiarkan di televisi yang terkenal. “Dahulu juga
meskipun jalanan tidak seramai sekarang, pembeli masih banyak yang berdatangan,
tetapi sekarang walaupun sudah ramai, pembeli justru menjadi berkurang,
entahlah mungkin para pembeli lebih menyukai tempat yang lebih modern dibanding
tempat kecil yang tetap gelap” cerita pasutri tua dengan penuh antusias.
Selanjutnya setelah puas menikmati cerita dan hidangan yang disajikan oleh
pasangan suami istri tua tersebut, kaki saya mulai melangkah kembali.
“Sekarang jalanan sudah terang sampai
CIPANAS, tidak perlu ada yang ditakutkan lagi” kata-kata pasutri sebelum
berpisah terus terngiang untuk meruntuhkan rasa takut saya terhadap cerita yang
sudah saya dengar. Baru saja berjalan sebentar ke depan, saya sudah menemukan
kegelapan yang luar biasa gelap. Saya hanya mengandalkan cahaya kendaraan yang
melintasi saya. Jika tidak ada kendaraan, saya hanya bisa berjalan sambil
berdoa supaya kaki saya tidak masuk ke dalam lubang yang tidak diinginkan.
Cerita pasutri tentang jalan yang sudah terang ternyata tidak benar. Apa
mungkin konsep terang yang dimiliki pasutri dengan konsep terang yang saya
miliki itu berbeda?. Berjalan di dalam kegelapan membuat semua bulu di sekujur
tubuh saya merinding. Apa lagi ditambah dengan rasa lelah dan jalan yang
menanjak, semakin membuat bulu saya terutama bulu kaki merinding dan berdampak
terhadap melemasnya kaki gemuk saya. Dan klimaksnya, ketika saat semuanya
melemas, saya mencium bau melati yang dikombinasikan dengan bau selokan di atas
jembatan yang tadi diceritakan pasutri tua penjaga warung kopi tua, tanpa
disadari air mata menetes bercampur keringat dingin. Di kanan kiri jalan
dipenuhi oleh pohon besar, semak, sawah, kebun, dan bukit-bukit menjadi seperti
sosok yang hidup yang terus mengamati saya. Tetapi rasa takut tersebut membuat
kekuatan alami saya muncul, saya paksakan kaki lemas saya tetap malangkah. Agar
terus kekuatan alami saya muncul dengan maksimal, tak henti-hentinya saya
bernyanyi dan menepuk-nepuk pantat saya bak kuda yang disuruh berlari lebih
cepat.
Setelah berjalan dengan mengeluarkan air mata
selama satu jam, akhirnya cahaya terang menyinari wajah takut saya. Cahaya yang
berasal dari Alf*m*art tersebut bagi saya seperti cahaya surga yang mangangkat
saya dari dalam kegelapan. “Terima kasih Tuhan, Engkau telah mendirikan
Alf*ma*rt yang terang itu di saat hamba Mu yang lemah ini membutuhkan cahaya
untuk mengusir mahkluk jahat di sekitar hamba” ucapan yang teriring ketika saya
melihat Alf*ma*rt yang begitu terangnya di hadapan saya. Tidak pikir panjang,
langsung saja dengan cepat saya masuk ke dalam bangunan terang itu, dan mulai
belanja makanan serta berkeluh kesah dengan kasir tentang apa yang sudah saya
alami. “Ih aa, udah gak usah takut a, mungkin itu perasaan aa aja, yang penting
niat kita baik a, pasti kita tidak akan di-apa-apakan sama mahkluk yang kaya
begindang” terkejut saya ketika mendengar kasir pria yang berkepala plontos
menceramahi saya dengan nada suara seperti perempuan setengah jadi. Tanpa
berlama-lama lagi, saya cepat meninggalkan bangunan terang itu. Untung saja,
setelah Alf*ma*rt, jalan di depan sudah tidak gelap lagi. PLN sudah memberikan
penerangan yang layak untuk daerah itu. Dengan tanpa rasa takut saya melangkah.
Yang tertinggal sekarang adalah rasa lelah dan kantuk yang menemani saya
berjalan di jam 22.00 ini.
Karena rasa lelah tetap menempel pada tubuh
saya yang cukup berbau ini. Saya putuskan untuk beristirahat di pom bensin yang
saya temui selanjutnya. Pom bensin yang saya temui dan saya prospeksikan
sebagai tempat bermimpi saya kali ini lumayan tua. Setelah bernegosiasi dengan
cukup ketat dengan penjaga pom bensin, akhirnya saya mendapatkan izin bermalam
di dalam mushola yang kecil. Kemudian saya langsung memperetelkan pakaian saya
dengan menggantinya dengan pakaian siap tidur, dan menggosok gigi saya serta
membersihkan kaki gemuk saya yang malang. Lalu siap lah saya untuk berbaring. Saya
telusuri lagi kejadian barusan yang saya alami. Rasanya berjalan di tengah
kegelapan barusan dirasa sangat lama sekali. Ketakutan yang tadi hilang kini
kembali lagi. Saya lihat kanan kiri, ternyata daerah ini sangat sunyi sepi,
aneh sekali perasaan saya. Lalu ketika saya memejamkan mata, dalam kegelapan
saya merasa ada yang mengamati saya dan di dalam pikiran saya masih terngiang
wangi melati dan selokan yang jelas tercium. Merinding seluruh bulu yang saya
miliki. Saya paksakan rasa kantuk merayap mendatangi saya dengan berkhayal
hal-hal yang indah. Kemudian lelap lah saya dalam mimpi.
Tanggal
11 Agustus 2012, tepat jam 03.00terdengar suara wanita
tertawa membangunkan mimpi saya. Rasa aneh dan dingin kembali menyambut saya
pulang dari mimpi. Apakah tawa wanita yang barusan saya dengarmerupakan bagian
dari dalam mimpi saya?. Pikiran saya terus mencari pembenaran bahwa hal yang
barusan saya dengar adalah bagian dari mimpi saya. Tanpa menunggu jawaban
dahulu, saya mulai mempersiapkan diri untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah pamit dengan penjaga pom bensin, saya tinggalkan pom bensin tersebut.
Krongkongan saya sangat kering, tidak ada warung yang buka, saya hanya menelan
ludah saja untuk membasahi krongkongan saya yang kering. Dan berjalan tidak
jauh ke depan saya menemukan warung sate maranggi yang sedang ramai dipenuhi orang
yang sedang mnyantap hidangan sahur mereka. Saya memesan satu porsi dan meminta
air yang dari tadi saya dambakan untuk membasahi krongkongan saya.
Lahap saya habiskan tanpa sisa sate maranggi
di hadapan saya, semoga makanan tersebut tidak hanya asal lewat perut saya dan
meminta dikeluarkan kembali. Selanjutnya saya langkahkan kembali kaki gemuk
berbulu kriting saya ke jalanan aspal. Untuk mengejar istana CIPANAS tempat
tinggal Presiden kita ketika berlibur di daerah puncak. Istana yang saya nilai
sangat biasa saja, malah justru terlihat seram. “kalaupun saya menjadi
presiden, dan sedang berlibur di daerah puncak, saya tidak mau tinggal di
bangunan yang seram itu” ucap saya sambil menunjukan jari telunjuk ke arah
bangunan megah bergaya eropa klasik.
Jalanan menuju puncak yang biasanya terlihat
ramai, kini sepi senyap, hanya sedikit kendaraan yang melintasi jalanan ini.
Jam 06.00 saya berada di CIBODAS, tempat pendakian Gunung Gede-Pangrango. Dan
tempat dimana saya mulai mengkuatkan tubuh, pikiran dan hati, karena di depan,
sudah menunggu jalan menanjak yang cukup curam menuju Kota BOGOR untuk saya
daki. Setelah kuat dengan segalanya, say mulai mendaki ke Kota BOGOR. Kaki saya
harus kuat ketahanannya dalam melahap jalan menanjak ini, pikiran saya harus
kuat keceradasanya dalam mngontrol tubuh saya untuk mengunyah jalan menanjak
ini, dan hati saya harus kuat keteguhannya untuk tidak mengeluh menelan jalanan
menanjak ini. Meskipun lelah, tetapi hal itu dapat dibayar dengan pemandangan
yang menakjubkan. Mulai dari pemandangan maha luas dari Gunung Gede-Pangrango
sampai yang eksotis pemandangan kebun teh yang menyerupai permadani hijau.
Terlihat hal yang kontras ketika memasang pandangan melihat kawasan Gunung
Gede-Pangrango. Perkampungan dengan hutan hidup berdampingan. Tapi saya yakin
sepuluh tahun kedepan perkampungan akan melahap habis hutan kaki Gunung
Gede-Pangrango. Dan ketika sudah sampai di Gapura selamat datang Kabupaten
Bogor, kalau melihat kebawah, akan tersajikan sebuah pemandangan kebun teh yang
terhampar luas, seperti sebuah permadani hijau yang luas dirobek oleh jalan
yang berliku-liku menuju bawah.
Dari dekat gapura ini, saya dapat melihat
tujuan transit saya, yakni Masjid At-Tawun. Karena jika melewati jalanan biasa
akan terasa lebih jauh untuk menuju AT-Tawun, maka saya memilih melewati jalan
pintas yang menusuk langsung menuju At-Tawun tanpa harus berkelak-kelok jauh.
Jam 10.00 akhirnya saya dapat menyentuh Masjid yang paling terkenal di daerah
puncak. Di sini saya luangkan perut saya untuk mengeluarkan bebannya, dan
membiarkan mata saya terpejam menunggu matahari di luar menurunkan kadar
panasnya. Dari awal saya melangkah, cuaca sangat konsisten menurunkan panasnya.
Tak ada sedikit mendung pun yang memayungi saya berjalan.
Jam 12.00 setelah mengerjakan shalat Dzuhur,
saya langkahkan kembali kaki saya ke dunia luar yang panas. At-Tawun tak pernah
sepi dari pengunjung, bukan hanya pengunjung yang berniat mengerjakan Shalat
saja yang datang berkunjung, tetapi banyak juga yang hanya menikmati At-Tawun
tanpa mengerjakan Shalat. Berjalan menurun, pikir saya akan lebih mudah
dibanding dengan berjalan mendaki. Pikiran saya salah, alangkah sakitnya kaki
ketika berjalan menurun. Perih telapak kaki, seperti berjalan di atas bara.
Huh, tulang seperti rontok semua. Menurun ternyata lebih berat dari menanjak.
Kaki saya harus menopang beban tubuh. Mengapa tak di buat eskalator saja agar
memudahkan pejalan kaki?. Andai kaki saya mempunyai roda, mungkin tak akan
terasa sakit seperti ini, dan perjalanan pun akan cepat diselesaikan.
“Hei, cukup berandainya, kita harus menerima
semua ini sebagai tantangan, bukan rintangan. Sakit yang saat ini saya rasakan
akan menjadi cerita manis di akhir perjalanan saya. Sakit hanya ilusi, ilusi
datangnya dari otak. Otak saya cukup cerdas untuk mengusir delusi ini. Nikmati
saja semuanya, perjalanannya, sakitnya, delusinya, asap knalpotnya,
tanjakannya, turunannya, panasnya, lelahnya, dan keringatnya. Yakini semuanya
akan dibayar dengan harga yang sesuai dengan perjuangan yang sudah saya lakukan
dalam menimati perjalanan ini.”
Masih dalam jalan yang menurun terjal, di
depan saya sudah dihadang oleh tawuran anak bau kencur. Cukup ramai, kira-kira
berjumlah lebih dari 20 kepala. Mereka saling meneriaki dengan kata-kata kasar
dan membawa beberapa alat perang, seperti gir yang dikaitkan dengan ikat
pinggang dan ada pula yang membawa kayu panjang. Batu berterbangan ke segala
arah. Untuk menghindari itu semua, saya memilih berdiam diri, sembari
beristirahat dan menikmati pertempuran anak SMP, setelah mereka bosan mengejar
cita-cita di dalam sekolah. Untung saja kejadian tersebut tidak berlangsung
lama. Mereka terhenti karena kedua belah pihak sudah merasa lelah. Dan masing
masing pulang ke arah yang berlawanan. Sebagian ke arah At-Tawun, dan sebagian
lagi ke arah Kota BOGOR.
Lalu, giliran saya yang melanjutkan
pertempuran saya dengan keinginan saya, yang sudah berlangung 3 hari tanpa
henti. Lemparan kata-kata berterbangan di dalam kepala saya, satu pihak
melemparkan kata-kata untuk menyerah, yang satu lagi melemparkan kata-kata
pemberi semangat. Seringkali saya mengistirahat kan tubuh saya. Tak seperti di
jalan yang lurus, saya dapat membuat peraturan 15 menit sekali istirahat, dan
beristirat hanya 5 menit. Jalan menurun membuat saya sulit untuk mematuhi
peraturan tersebut. Jalan sudah sangat melambat, ditambah dengan istirahat yang
sering dilakukan, membuat saya hanya pasrah untuk melangkahkan kaki. Entah
kapan saya akan sampai JAKARTA, sudah tidak menjadi sesuatu yang penting lagi.
Saya hanya ingin menjadi kapas yang berterbangan mengikuti arah angin.
Merasakan arah nasib membawa saya entah kemana. Pasrah dan menyerah adalah
sesuatu yang berbeda. Mengikuti arah nasib bukanlah bagian dari kata menyerah,
hal itu lebih diartikan sebagai mengakui bahwa kita adalah mahkluk kecil
ciptaan Tuhan, yang tidak akan mendapatkan apa-apa tanpa bantuanNya.
Semakin dekat dengan arah CIAWI, jalanan
semakin dipadati oleh kendaraan yang tidak bisa berjalan alias macet. Jalan
menuju puncak memang dikenal sebagai jalanan dengan kemacetan abadi. Apalagi
ini adalah hari Sabtu. Warga pecinta malam minggu akan merayakannya di luar
rumah. Dan luar rumah yang sering dituju untuk merayakan malam minggu adalah
PUNCAK dan sekitarnya. Warga Ibu Kota pun tidak sedikit yang merayakannya di
daerah PUNCAK dan sekitarnya. Itulah mengapa daerah ini selalu macet tiap
weekendnya. Benar saja, CIAWI dipenuhi oleh banyak anak muda yang sedang
merayakan malam minggu di luar rumah. Kaki lima pun tidak mau ketinggalan untuk
merayakan malam minggu. Mereka merayakannya hingga nyaris ke tengah jalan.
Bunyi klakson kendaraan yang tidak mau bersabar menambah kemeriahan malam
minggu di CIAWI. Karena pusing dengan suasana kemeriahan seperti itu, saya pun
dengan melangkah cepat meninggalkan kemeriahan tersebut. TAJUR menjadi daerah
selanjutnya yang saya kunjungi. Di sini pula saya bersiap untuk bertemu mimpi.
Karena jam pun sudah menunjukan jam 22.00, langsung saja saya pilih masjid yang
berada di pinggir jalan TAJUR. Sialnya, masjid dikunci, mau bagaimana lagi,
karena kaki sudah sangat lelah juga setelah banyak memakan jalan menurun, saya
paksakan untuk berbaring di selasar masjid. Semoga saja tidak kecurian. Saya
langsung mengenakan sleeping bag dan mulai memejamkan mata. Belum sempat
membangun mimpi, nyamuk-nyamuk mulai mengajak saya berperang. Bunyi desingan
nya sangat mengganggu, bagai suara jet Amerika yang sedang menggempur
perkampungan di Vietnam. Ini adalah tidur yang paling tidak nyenyak selama saya
melakukan perjalanan ini. Nyamuk disini sangat cerdas dan ganas. Sleeping bag
yang saya kenakan tidak mampu mengamani kulit berwarna saya dari tusukan
moncong runcing nyamuk keji tidak berbelas kasih. “Gangguan adalah konsep,
konsep itu berasal dari otak. Jika otak saya mengatakan nyamuk bukanlah sebuah
gangguan, maka kehadiran nyamuk tidak akan jadi gangguan buat saya”. Dengan
mengatakan hal itu berulang kali, saya pun tertidur di tengah Bloody War antara kulit dengan nyamuk.
Tanggal
12 Agustus 2012, bukan hanya nyamuk yang membuat
tidur saya tanpa mimpi. Ada juga warga sekitar yang mondar-mandir di sekitar tidur saya, tidak jelas mencari apa. Setelah
tidur yang tanpa mimpi itu, jam 03.00 saya mulai bergegas untuk melangkahkan
kaki gemuk berbulu kriting saya kembali. Jalan terlihat msih lenggang,
kendaraan masih sedikit yang dapat dijumpai. Di trotoar jalan pun, para Homeless masih tertidur pulas, sepertinya
lebih pulas dibanding dengan tidur saya. Berkali-kali angkutan kota malam
berhenti di depan saya, menawarkan jasa nya kepada saya. Menggoda saya untuk
masuk dan melemaskan kaki saya yang masih lemas digerakan. Tetapi niat saya
bulat, tidak kotak, ataupun segitiga. Perjuangan saya akan saya selesaikan di
hari ini, tanpa bantuan roda-roda yang memuntahkan Timbal dan CO2 ke angkasa.
Di pagi hari, keramaian mulai berseliweran, banyak dari mereka yang
mengenakan pakaian olahraga. Minggu pagi memang sangat cocok untuk berolahraga.
Apalagi minggu ini langit sangat cerah sekali. Mulai dari anak-anak sampai
lansia mulai memenuhi pemandangan Kota BOGOR untuk berolahraga pagi sambil menikmati
cerahnya pagi. Tanpa tergoda untuk melakukan olahraga, saya tetap berjalan
menuruni Kota BOGOR. Karena saya rasa raga saya sudah sangat lelah untuk diolah
terus menerus sejak perjalanan aneh ini saya mulai. Pikiran dan hati pun tak
luput dieksporasi tenaganya dalam perjalanan ini. Tak terasa matahari pagi
sudah menerangi jalan saya. Dari semua hari yang aku lalui, pagi adalah hari
yang paling saya sukai. Pagi adalah awal, lalu ketika siang tiba, rasa nya
kebahagian mulai memudar, dan malam yang paling saya benci.
Jam 06.30 saya lihat ada sebuah counter pulsa
yang buka di dekta perempatan jalan menuju ke Parung, langsung saja saya masuk,
dan menumpang men-charge cellphone saya yang kehabisan tenaga sejak di
At-Tawun. Setelah itulah saya kehilangan komunikasi dengan keluarga dan
teman-teman saya yang sudah mendoakan perjalanan saya.Semoga saja mereka tidak
khawatir dengan keadaan saya. Baru beberapa menit cellphone saya di-charege,
ada panggilan masuk, dan nama yang tertulis di layar cellphone adalah ‘mamah’.
“sedang dimana a? Katanya lagi jalan kaki
dari NANGOR? Bagaimana keadaanya? Cepat pulang jangan bikin keluarga khawatir!
Hari ini harus sampai rumah.” Dengan penuh rasa khawatir Ibu saya menelpon.
“Ia bu, hari ini emang direncanakan akan
sampai di rumah, jadi tunggu aja, gak perlu khawatir, aa baik baik saja di
sini, yang penting doanya aja bu.” Jawab saya tenang, mungkin karena perjalanan
ini, membuat diri saya semakin tenang menghadapi segala tuntutan. Perjalanan
ini berhasil merubah saya. Semoga bukan perubahan yang sesaat, tetapi perubahan
yang permanen.
Dengan harapan yang besar dari keluarga untuk
berada dirumah hari ini juga, membuat saya terpacu untuk melangkah lebih cepat.
Namun dimana ada motivasi besar, disana pula ada tantangan yang besar. Panas
jalanan kali ini tampak sangat kejam. Setelah habis udara sejuk nan dingin dari
Kota BOGOR, kini saya menghadapi raja terakhir, yaitu panasnya Jalan Raya Bogor
yang menuju langsung ke arah Raja Panas, JAKARTA. Berkali-kali saya meneduh di
depan Alf*m*rt sambil menikmati jajanannya yang membasahi kerongkongan saya. Nikmat
sekali, sepertinya air akan lebih terasa nikmat ketika kita melakukan
perjalanan panjang, dan beristirahat akan terasa jauh lebih nikmat ketika kita
melakukan perjalanan panjang juga.
Perbedaan atmosphere antara Kota Bogor dan
Cibinong bagai bumi dengan langit. Cibinong jauh sangat tidak dingin dibanding
Kota Bogor. Mungkin Dia sudah didoktrin oleh Ibu Kota untuk tidak lagi menjadi
Kota yang sejuk. Ibu Kota memang lebih kejam dibanding ibu tiri. Baru saja
jarum jam menunjuk pada angka 10, temperature CIBINONG sudah menghanguskan
kulit saya dan mendidihkan darah saya.
“Saya harus cepat meninggalkan kota ini, jika
tidak mau mati kepanasan” pikir saya setelah melihat kulit tubuh semakin legam.
Sesekali aku melirik kaca jendela pertokoan dipinggir jalan untuk mengobati
mata dari rasa rindu melihat wajah sendiri. Dekil, kumuh, prihatin. Wajah saya
seperti film yang menggambarkan kesengsaraan warga afrika yang sedang dilanda
perang saudara dan kelaparan. Jalan Raya Bogor yang menusuk CIBINONG seperti
tidak ada habisnya. Saya mulai mengalami fatamorgana. Saya sering berhalusinasi
jembatan layang Pasar Rebo yang sering dijadikan tempat pacaran warga sekitar
berada di depan pandangan saya. Saya tahu itu hanyalah fatamorgana, yang harus
disingkirkan. Saya harus merasakan jarak yang tidak lama lagi akan saya
kalahkan. Fatamorgana yang memanjakan ini bukanlah sesuatu yang baik. Ia akan
melemahkan saya, melemahkan perjuangan saya. Kadang hal yang membuat mudah
jalan kita, adalah hal yang buruk untuk pertumbuhan kekuatan kita. Kita harus
mencari tantangan yang hebat untuk membantu pertumbuhan kekuatan kita. Karena
seoarang pelaut yang hebat, dilahirkan dari ombak yang besar. Jadi, saya tidak
akan menerima kemudahan yang diberikan oleh fatamorgana. Saya tidak akan mau
dimanjakan oleh fatamorgana.
Matahari sore menyambut saya di Kota Depok,
yang masih dapat terdengar suara persuasif kondektur bus mengajak orang-orang
disekitarnya untuk bergabung bersamanya di dalam bus rongsoknya. Terdengar juga
PKL yang tumpah hingga ke jalan meneriaki dagangannya yang tak kunjung laku.
Sore yang sangat ramai di Kota DEPOK. Karena keramaian tersebut aklerasi
langkah saya harus diturunkan. Seperti kendaraan beroda, kaki para pejalan kaki
pun melangkah tak selancar biasanya.
Malam pun tak mampu mengurangi keramian
jalan, malah semakin padat. Tapi malam berhasil mendinginkan jalan. Jalan
menjadi terlihat lebih bersahabat dengan kaki saya. Kulit tubuh saya yang legam
jadi tersamarkan oleh redupnya cahaya bulan. Malam yang cerah ini juga
mengantarkan saya memasuki Ibu Kota JAKARTA. Tepat jam 22.00 dan dengan hanya
tersisa semangat saja, saya benar-benar melihat jembatan layang Pasar Rebo yang
menjadi titik akhir perjalanan panjang saya bersama kaki saya. Tak menunggu
lama untuk beristirahat, saya langsung langkahkan kaki saya ke dalam bus
terakhir yang akan mengantarkan saya ke Tangerang. Untungnya bus tidak terisi
penuh, saya bisa meletakan pantat saya yang lelah dan meluruskan kaki saya yang
lelah. Dengan tubuh yang bau akan perjalanan, semoga saja tidak merusak selera istirahat
orang orang di dekat saya.
Lima hari sudah saya berjalan dari Jatinangor
ke Jakarta yang berjarak kurang lebih 180 km. Semoga perubahan-perubahan yang
sedikit saya rasakan dapat berlangsung lama menuju hal yang positif. Dan dengan
menoleh ke jendela bus, saya mengucapkan kepada perjalanan saya. “Semoga kita
dapat bertemu kembali” ucap saya ketika hendak meninggalkan perjalanan panjang
ini.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar