Senin, 31 Maret 2014

PERJALANAN MENUJU BARAT ( LONG MARCH JATINANGOR-JAKARTA )



Perjalanan merupakan proses transformasi, bisa dari hal yang buruk menjadi hal yang baik, atau justru sebaliknya. Perjalanan bisa saja membuat orang yang sangat berenergi menjadi orang yang terlihat lelah, atau justru sebaliknya, membuat orang yang terlihat lelah menjadi tampak berenergi kembali. Marcopolo, Cheng Ho, hingga Tong San Cong, mereka melakukan perjalanan, perjalanan yang sangat jauh, dan pastinya hal tersebut membuat mereka menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya. Saya ingin merubah pribadi saya  menjadi sesuatu yang berbeda. Saya sudah bosan dengan saya yang seperti ini, timbunan lemak semakin membengkak, mata semakin samar, dan paru-paru yang semakin sesak. Oleh karena itu, saya ingin melakukan perjalanan panjang, dan dapat merubah diri saya (dan syukur-syukur dapat merubah sekitar juga).
Sudah lama sebenarnya saya merencankan perjalanan panjang ini. Ya, sudah lama saya ingin bermesrah mesrahan dengan sepasang kaki gemuk saya, terakhir kali saya berjalan sangat jauh adalah ketika saya melaksanakan pendidikan pecinta alam, yaitu pada saat saya masih duduk di semester 2(saat ini saya duduk di semester 7), waktu itu saya berjalan dengan kaki saya dari kawasan gunung Kareumbi sampai kampus Fisip Unpad Jatinangor. Dan kira kira jaraknya sekitar 30 KM. Tapi kali ini keinginan saya lebih menakutkan lagi, yaitu jalan dari Jatinangor sampai Jakarta, sekitar 200an KM.
Pada tanggal 8 Agustus 2012,akhirnya rencana itu bisa saya realisasikan. Tapi kali ini saya tidak berdua saja dengan kaki saya. Teman saya yang bernama PEBRIYAN a.k.a KOMENG pun ingin merasakan nikmatnya bercumbu dengan kakinya sendiri yang cukup berbau. Kaki saya juga sebenarnya cukup berbau, tapi saya tidak mempermasalahkannya dan sampai sekarang saya sangat amat mencintai kaki saya. Walaupun kaki saya tidak pernah mengatakan suka sama saya, tapi saya tahu kalau kaki saya sangat menyukai saya juga. Amiin
Jam 11.08 saya dan kaki saya, dan KOMENG dengan kakinya juga siap untuk melawan jarak. Perbekalan yang kita persiapkan hanya lah beberapa saja. Pertama adalah mental, kedua kegilaan, ketiga uang sebanyak banyaknya(takut dirampok, jadinya harus mempersiapkan uang yang banyak untuk para perampok), lalu pakaian ganti serta sleeping bag, dan terakhir adalah pikiran yang pasrah bahwa saya dan kita semua adalah makhluk kecil ciptaan TUHAN YME. Cuaca sangat terik, mungkin mencapai 35 derajat celcius. Hitam kulit tubuhku menjadi semakin berwarna. Tidak menyurutkan niat kaki ku untuk malangkah.
Di pertigaan CILEUNYI, kita mendapatkan opsi jalan yang harus kita temui, setelah sebentar berfikir kita memutuskan lewat TOL, karena dirasa lewat Tol itu lebih cepat, dan tidak akan macet, kita memutuskan lewat gerbang Tol CILEUNYI, tapi setiap keputusan kan selalu melahirkan konsekuensi. Dan konsekuensinya, Gilee Tol CILEUNYI terlihat seperti  selasar  neraka, panas banget, dan kalau melihat lurus kedepan, aspalnya itu terlihat seperti bergoyang goyang. Walaupun kita sudah berjalan agak kepinggir dibawah bayang bayang pohon, tetap saja panas masih sampai kekulit kita. Pohon-pohon di jalan Tol tidak sanggup menahan gempuran panas matahari. Akhirnya jam 01.08 kita bisa berteduh dibawah jembatan jalan Tol. Di bawah jembatan jalan TOL tersebut terdapat beberapa pemandangan yang dapat terlihat. Di sebalah kanan terdapat perumahan yang tampak sepi, mungkin karena matahari di luar sangat panas, sehingga para penghuni memilih untuk berdiam diri di dalam rumah, lalu di sebelah kiri terdapat sawah yang maha luas yang sedang kepanasan berjemur tanpa ada yang memayungi. Dan tepat di bawah jembatan terdapat rel kereta. Dekat dengan rel kereta tersebutlah kita merebahkan tubuh sekaligus untuk menikmati indahnya pemandangan kereta yang lewat. Kereta yang berlari diatas tracknya menjadi pemandangan yang beda, dan  itulah yang menjadikannya indah, perbedaan memang akan selalu indah. Jadi, jika ada yang mencintai keindahan, tidak akan ia membenci perbedaan. Lalu setelah sebentar mengisi energi raga dan pikiran, kita melanjutkan kembali pertempuran ,melawan jarak dan antek anteknya, yaitu panas matahari.
Selama perjalanan siang ini, banyak hal hal yang saya temukan, mulai dari bangkai burung burung kecil yang mungkin wafat saat mencoba berjalan jauh via TOL. Ada juga sungai yang airnya tidak terlihat tapi yang justru terlihat adalah kumpulan warna warni dari sampah pelastik yang manusia hasilkan. Dan di sepanjang jalan, saya melihat sawah sawah yang sedang sekarat, panasnya cuaca ini bukan hanya menyulitkan kami tetapi sawah pun sulit untuk menelurkan padi. Karena air minum mereka sudah habis diminum oleh panas matahari yang sangat sedang kehausan. Egois sekali pikir saya. Panas matahari tidak menyisakan setetes saja untuk para sawah kering.
Tetapi setelah berjalan agak kedapan sedikit saya melihat bangunan yang sangat besar. Otak saya langsung berfikir, apakah habisnya air minum sawah kering bukan ulah dari panas matahari, tetapi oleh Bangunan besar yang duduk di tengah tengah sawah itu, Bangunan yang namanya masih menjadi perdebatan, Gelora Dada Rosada. Bangunan itu memang belum tumbuh dewasa, karena pembangunannya masih dalam proses. Apakah dia yang menghabiskan air minum sawah kering?. Insting detektif saya langsung bekerja, dan mencium keserakahan didalam diri bangunan itu. Sudahlah, saya harus melanjutkan perjalanan saya, saya harus sudah berada di gerbang TOL PADALARANG secepat mungkin jika tidak mau bertemu malam ditengah jalan TOL yang terkenal angker.
Semakin matahari menuju ke arah barat semakin cepat juga kita melangkah. KOMENG yang badannya lebih kurus dibanding betis saya yang besar berjalan sangat cepat, seperti terbawa angin dan bagaikan berjalan di udara tanpa menapak pada tanah. Saya yang badannya lebih besar dibanding betis saya, harus bersusah payah mengejar aklerasi KOMENG. Di tengah jalan TOL pun kami bertemu dengan manusia lain selain saya dan KOMENG. Yakni petugas DLLAJ yang sedang bertugas mengamati aspal jalan TOL, saya kira kita akan dimarahi olehnya, karena berjalan di kawasan kekuasaan dia tanpa ijin darinya. Tetapi kita justru mendapatkan jempolnya dan pujian dari dia yang membuat saya sedikit lebih bersemangat. Bahkan dia menawari kita tumpangan di atas mobil patrolinya. Jelas saja kata “Tidak dan terimakasih” yang keluar dari mulut lugu kami yang sedang bersemangat berjalan melawan jarak.
Jam 04.30 sampailah kita di jalanan selain jalan TOL yang menyuguhkan jalanan tanpa kemacetan yang membuat kita bosan. Kita sangat merindukan kemacetan dan suara klakson kendaraan yang tidak bisa bersabar. Dan bunyi bunyi klakson yang ramai itu bisa kita dengar di jalan BUAH BATU yang tepat berada di bawah jembatan jalan TOL. Kita beristirahat sejenak disana dan sekaligus juga mengobati rasa rindu kita untuk melihat manusia dan mendengar suara keras klakson kendaraan yang tak bisa bersabar. Walaupun dijalan TOL kita juga mendengar klakson klakson itu, tetapi klakson yang kita dengar di jalan TOL tidak sehidup bunyi klakson yang kita dengar di jalanan biasa. Coba saja dengarkan dengan menempelkan telinga di aspal. Suara klakson tersebut sedang berkomunikasi, dan komunikasi klakson di jalan yang macet lebih bervariasi, yang didominasi dengan kominukasi yang tidak pantas didengar oleh anak-anak dibawah usia 18 tahun.
Melanjutkan perjalanan kembali dari BUAH BATU kedepan sebentar, kita bertemu dengan jalanan biasa lainnya yaitu Jalanan MOH TOHA dan sejam kemudian kita menemukan jalan  KOPO. Di jalan KOPO itulah kita mendapatkan makanan malam kita untuk menambah energi kita. Warteg yang kita temukan di KOPO seperti pom bensin bagi kendaraan. Kita makan sangat rakus sekali, karena tidak mau kelaparan setelahnya. Tidak mau kata “lapar” menjadi alasan saya kalah dengan jarak dan antek anteknya.
Berniat tidak menemukan malam di tengah TOL, tapi niat itu selalu saja bertentangan dengan apa yang kita dapati. Akhirnya kita bertemu juga dengan lawan berat kita, malam hari. Meskipun pertempuran dengan panas matahari sudah berhasil kita lalui, tapi kini pertempuran akan lebih menguras mental, kita akan menghadapi dinginnya malam yang angker.  Benar saja memang malam sangat ganas, kaki kaki kita menjadi susah untuk digerakan terhalang oleh rasa dingin yang membuat kita sedikit keram. Dan puncaknya ialah sekitar di KM 125an, KOMENG mencium melati bercampur dengan bau selokan yang kata kebanyakan orang menandakan ada mahkluk yang lebih kesepian dibanding manusia, yang sering berseragam putih panjang, dan selalu berambut lebat hitam panjang hingga menyentuh tanah. Karena hal itulah kita memutuskan untuk meninggalkan jalan TOL, menuju jalan CIMAHI yang banyak orangnya. Disana pula kita memutuskan untuk bermalam, karena memang sudah sangat lelah, kaki seperti habis berjalan diatas bara, kaki pun terlihat pucat seperti anak sekolahan saat menerima pelajaran fisika dan  meminta waktu istirahat.
Tempat yang menjadi incaran kita bermalam adalah pom bensin, tepatnya musolah yang berada di pom bensin. Setalah mendapati pom bensin yang kita rasa cocok untuk kita tiduri, langsung saja kita menanggalkan sepatu kita, bersih bersih kaki dan wajah yang penuh dengan kotoran, dan siap siap berbaring. Sayang, saat sudah hampir membaringkan tubuh yang rapuh ini, penjaga pom bensin merusak suasana, dia mengusir kita dengan tanpa belas kasihan, katanya perusahaannya tidak mengijinkan siapa saja untuk tidur di wilayah kerja dia. Sial, kemana lagi kita harus membaringkan tubuh, rasanya seluruh anggota tubuh menangis dan menolak untuk digerakan lagi.
Setelah mata mencari cari tempat sambil mengeluarkan air mata, dimana lagi tempat yang cocok untuk tubuh kita. Akhirnya tidak jauh dari tragedi pengusiran itu, kita menemukan Masjid yang mungkin saja mau menampung kita. Dengan perlahan lahan, dan celingak celinguk, kita mulai membaringkan tubuh didalam masjid itu. Tidak mau tragedi pengusiran terulang lagi, kita meminta ijin terlebih dahulu kepada orang yang sedang menggaji dengan memasang wajah penuh kasihan. Jam 11.00 kita berhasil dapat memenjamkan mata yang sudah sangat lelah. Dan berharap dapat bermimpi indah berada di dalam Surga, mumpung sedang tidur di dalam rumah Tuhan.
Tanggal 9 Agustus 2012 jam 04.30 kita bangun sangat pagi sekali, karena kita tidak mau mengagetkan jemaat Masjid tersebut melihat 2 sosok tubuh yang menyerupai mayat tergeletak disudut Masjid mereka. Dan kita pun sekalian mencari makan sahur. Karena bulan ini adalah bulan puasa, oleh karenanya kita harus sahur (puasanya belum tentu sih). Ternyata berjalan di pagi buta memang terasa lebih ringan, udaranya sangat sejuk, sangat memanjakan paru paru saya yang selalu bekerja keras menyaring udara kotor. Suara bising kendaraan masih sangat sedikit. Sangat memanjakan telinga yang selalu bekerja keras menabuh gendang. Keluar dari jalan TOL membuat kita tidak tau arah, kita lebih sering bertanya kepada orang orang sekitar. Tapi malah menimbulkan pertanyaan, apakah jalan yang ditunjukan oleh orang orang adalah jalan yang lebih cepat atau justru lebih jauh. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya harus mencari pom bensin, masuk ke dalam toilet dan mulai merenung sambil berjongkok melepaskan celana dan celana dalam saya dan mulai mengendan, dan terdengar bunyi cemplung,, cemplung...  yang menandakan pertanyaan tersebut telah terjawab. Dan jawabannya adalah tetap ikuti apa yang orang katakan.
Sampai 2 jam berjalan kita belum juga menemukan jalan yang mengarah ke padalarang pada umumnya, masih berkutat di jalanan kecil, sampai sampai kita harus mengelilingi bukit. Sepertinya jalan yang kita pilih membuat perjalanan semakin jauh. Dan tepat jam 07.00 pagi saat matahari sudah sangat terbit, kita berhasil mencapai jalan yang besar, jalan raya utama  PADALARANG- CIANJUR. Perjalanan kita lanjutkan kembali setelah sebentar menikmati keberhasilan menemukan jalan yang di-idam-idamkan dari semenjak Shubuh tadi. Memang terasa lebih ringan jika kita melakukan perjalanan dengan adanya kepastian langkah, tidak seperti sebelum menemukan jalur utama,kaki dan pikiran terasa sangat lelah. Jam 10.00 kita kembali beristirahat di musolah kembali yang terletak didepan situ CIBURUY,PADALARANG. Istirahat kali ini bukan hanya sekedar duduk duduk saja, tapi kita memutuskan untuk tidur siang, seperti yang dilakukan oleh orang Portugis dan Belanda.Melihat wajah saya di cermin, mengingatkan saya dengan cerita Tong San Cong yang melakukan perjalanan juga dengan murid-muridnya. Pada Scene sewaktu Tong San Cong berjalan diatas gurun pasir, dia terlihat lelah dan dahaga sudah meronta-ronta, untuk memuaskan dahaga gurunya, murid-muridnya memberikan air kencingnya untuk gurunya minum. Mungkin wajah Tong San Cong waktu itu hampir serupa dengan wajah saya pada cermin Musolah. Kerasnya perjalanan Tong San Cong dengan perjalanan saya hampir serupa, tetapi perbedaannya, perjalanan yang dilakukan Tong San Cong bertujuan untuk meperbaiki kualitas iman ummat manusia, sedangkan saya untuk memperbaiki iman saya sendiri, hehe Amiin.
Jam 12.00 suara Adzan membangunkan mimpi kami, langsung saja dalam setengah kesadaran setelah bermimpi saya membasuh wajah saya mengerjakan ritual Wudhu dan dilanjutkan Shalat Dzuhur berjamaah. Parahnya, teman perjalanan saya masih tertidur, meskipun orang-orang yang memiliki kans ke Surga lebih besar darinya sedang Shalat tepat disampingnya, dia tetap tak bergeming melanjutkan tidurnya.Karena malu, saya membangunkan KOMENG yang wajahnya sudah penuh dengan air liurnya sendiri dan langsung saja melanjutkan perjalanan menuju barat.
Di sepanjang jalan PADALARANG kita dapat melihat sesuatu yang unik, yaitu truck-truck tua renta masih harus menikmati masa tuanya mengangkut batu-batu besar hasil penambangan. Truck-truck tua yang konon sudah ada saat zaman penjajahan dulu. Mengapa mereka tidak pensiun? Sudah setua itu, mereka harus mengangkut beban yang berat. Apakah mereka tidak memiliki pengganti?. Sedikit sedih melihat pemandangan seperti itu, perbudakan masih amat sangat dekat dengan peradaban yang kita nilai modern. Dengan apatisnya, kami berfoto-foto suka cita didepan kesengsaraan mahkluk tua itu. Sepertinya nilai sentimetil yang saya miliki sudah saya sentil menjauh dari dalam diri saya. Kasihan truck-truck tua itu, “Maafkan kami pak, karena kami berfoto-foto di depan kesengsaraan anda, lain kali kami tidak akan melakukan hal itu kembali. Kami berjanji” kataku sebelum meninggalkan pemandangan yang super menyedihkan itu dan melanjutkan perjalanan ke barat.
Di tengah perjalanan kita juga sempat bertemu orang gila yang kesepian yang sedang melakukan perjalanan jauh juga sama seperti kita, tetapi yang membuat beda adalah, dia berjalan dengan wajah yang muram, sedangkan kita selalu memasang wajah senang bahagia. Itulah yang membedakan manusia waras dengan yang gila. Sebelum mengetahui orang itu adalah orang gila, kita hampir saja tersulut emosi olehnya karena ia terus memandangi kami dengan tatapan sinis dan tidak bersahabat, untung saja perjalanan ini mengajarkan kami untuk menahan emosi, dan oleh karena itu konflik berhasil kami hindari. Orang gila itu berpakaian bersih tidak seperti orang yang disebut gila pada umumnya, memakai polo shirt bermotif garis hitam dan putih, dan memakai celana sotong ¾. Sekilas memang tampak tidak gila, tetapi setelah diteliti lebih cermat, perilakunya aneh, memandang orang lain dengan sinis, dan sesekali mengais tumpukan sampah, entah apa yang dia cari dari tumpukan sampah itu.
Selain orang gila yang kami temui, ada juga ROBI teman satu kontrakan dengan kami. Ia sedang melakukan perjalanan ke rumahnya di SUKABUMI dengan menggunakan sepeda motor yang bermerk Y*m*h* M*o. Katanya dia sudah berjalan selama dua jam sebelum bertemu dengan kami, sedang kami butuh waktu hampir dua hari sebelum bertemu dia. Senang bertemu teman yang sudah dua hari ini tak kami temui, beruntung dia masih mengingat wajah kami, yang sudah sedikit berubah dari sebelumnya. Sayang dia lebih mencintai motornya ketimbang kami. Dia lebih enggan meninggalkan motornya dibanding menemani kami berjalan. Karena kami sudah diajari oleh perjalanan ini untuk menghargai keputusan orang lain meskipun kadang menyakitkan kami. Kami ikhlaskan kepergian teman kita ROBI untuk bertemu keluarganya di SUKABUMI. “Semoga pertemanan kita tetap berlanjut walaupun kamu meninggalkan kita sendiri, dan hati-hati dijalan kawan”. Tanpa tambahan personil, kita tetap melanjutkan perjalanan ke arah barat yang telah menjadi niat kita.
Kaki yang letih ini, kami paksa melangkah lebih cepat lagi agar tidak menemui malam di wilayah sepi sekaligus menyeramkan di PADALARANG. Kami tidak ingin bertemu mahkluk nokturnal yang jahat. Di wilayah yang sepi ini, yang di kanan dan kirinya adalah hutan semak belukar merupakan tempat idaman mahkluk nokturnal yang jahat melancarkan aksinya untuk menindas kaum yang lemah dengan menguras harta bawaanya. Oleh karena itu ketika menemui keramaian di RAJAMANDALA hati kita bersuka ria. Meskipun keramian belum tentu aman, pikiran mainstream kita menilai sepi lebih tidak aman. Karena manusia merupakan mahkluk sosial, maka mereka akan merasa lebih nyaman dan aman ketika bersama manusia yang lainnya. Teori tersebut saya kira sudah bertahan beribu-ribu tahun, tetapi di zaman ini, teori tersebut mulai menemui pertentangan.Sudah banyak kasusnya, manusia direnggut rasa aman dan nyamannya ketika berada dalam keramian.
Jam 23.00 kita putuskan untuk mencari tempat bermimpi. Dan sama seperti malam sebelumnya, tempat yang kita incar adalah pom bensin atau mesjid yang mempunyai kemurahan hati. Akhirnya kita menemui masjid dengan kriteria yang cocok untuk kita bermalam. Sayang, masjid tersebut terkunci, dan memaksa kita untuk tidur di selasar masjid yang terasa dingin. Tetapi alangkah bahagianya kita, ketika KOMENG menemukan kunci masjid tersebut diletakan di atas pintu. Memang orang baik itu selalu dimudahkan oleh TUHAN. Dari kasus itu, saya mulai menyadari bahwa saya adalah orang baik. Dan seterusnya saya harus melakukan apa yang biasa orang baik lakukan. Lalu masuklah kita ke dalam masjid dan mulai bersiap menghadapi mimpi.
Tanggal 10 Agustus 2012 jam 04.00 kita terbangun. Dan belum sepenuhnya sadar dari mimpi, kita sudah dijejali oleh pertanyaan yang tidak bersahabat dari orang yang pertama kali masuk masjid. Mungkin dia terkejut saat menemui dua orang asing yang dekil berada dalam masjid tempat suci yang biasa dia gunakan untuk mengobrol dengan TUHAN. “ Siapa kalian, ko bisa masuk ke sini? Bukankah masjid ini terkunci jika malam hari?” katanya dengan nada yang sinis. “ Maaf pak, kita sedang malakukan perjalanan menuju barat, Eh maksud saya Jakarta. Kita dari Jatinangor, Sumedang pak. Kita tadi malam butuh tempat untuk bermalam pak, karena tidur di selasar sangat dingin, jadi kita tidur di dalam pak, kita menemukan kuncinya berada di atas pintu. Tetapi semalam tidak ada orang untuk dimintai izin pak, jadi pikir saya, kita minta izinnya nanti saja pak, saat ada yang ke masjid”  jawab saya dengan memasang wajah menyedihkan berharap dapat dimaafkan oleh bapak yang sudah dipenuhi rambut putih di sekujur kepalanya. Pertama kali saya melihat dia, saya mengira dia adalah malaikat yang menghuni masjid ini, soalnya, dia memakai stelan serba putih. Takut dia semakin marah, kita melanjutkan perjalanan lagi, setelah Shalat Shubuh.
Tidak jauh dari gapura selamat datang CIANJUR, tidak jauh dari jembatan yang di bawahnya terdapat sungai yang airnya cokelat, saya harus merelakan kepergian KOMENG yang memutuskan meninggalkan saya demi memuaskan rasa lelahnya dan rasa rindunya kepada Jakarta. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Slogan-slogan yang biasa digunakan oleh politisi untuk membujuk masyarakat pun sudah saya gunakan, tetap KOMENG tidak bergeming dan dengan keteguhan hatinya, ia memutuskanmeninggalkan saya sendiri. “ Each man faces everything by himself alone” kata otak saya kepada saya agar kuat merelakan KOMENG pergi, agar kuat merelakan semuanya nanti pergi, termasuk kenangan dan nyawa saya kelak.
Sambil memandangi pantat bus yang KOMENG naiki menuju barat, saya melanjutkan langkah saya. Jam 06.00 tepat saya seorang diri melawan jarak. Perjalanan yang dilakukan oleh seorang manusia memang pada hakikatnya dilakukan seorang diri. Dari perjalanan ini saya dapat memaknai sebuah perjalanan. Perjalanan ini bagi saya sama saja seperti perjalanan hidup, keduanya adalah sebuah perjalanan, hanya saja perjalanan ini berakhir di JAKARTA, sedangkan perjalanan hidup berakhir pada ajal. Tetapi di tengah prosesnya lah yang dapat memberi warna khas pada sebuah perjalanan, bukan pada akhirnya. Jika kedua perjalanan tersebut ingin saya buat menyenangkan, saya harus melakukan sesuatu yang menyenangkan di tengah prosesnya meskipun sedang berada pada suasana yang menyedihkan.
Dengan berjalan sendiri rasa bosan dan sakit mulai menggrogoti tubuh dan pikiran, apalagi ditamabah rasa kesal dan benci karena sepanjang perjalanan mata saya selalu disuguhi gambar foto wajah bahagia para petinggi pemerintah dengan slogan-slogan yang tidak kongkrit. Banner rakasasa yang menghiasi jalan membuat perjalanan saya agak sedikit berat. “Maaf bapak yang terhormat, dengan menunjukan wajah ceria anda dan slogan-slogan manis yang absurd, tidak akan membuat kami yang buta aksara memilih anda”.  Kata saya dalam hati untuk mengekspresikan ketidak sukaan saya terhadap hal yang sangat mengganggu pemandangan perjalanan saya. Saya pikir dibanding harus menjadi wakil rakyat, lebih baik mereka menjadi model produk iklan yang selalu bahagia mempromosikan produknya. Senyum yang tidak mempunyai empati ketika di bawah banner raksasanya masih ada gelandangan yang berwajah muram menahan lapar, masih ada petani yang berkeluh kesah memanen padi yang tidak dapat merubah nasibnya.
Jam 09.00 pagi saya bertemu dengan distrik yang cukup ramai dengan toko-toko dan bangunan lain. Distrik tersebut bernama CIRANJANG. Daerah yang cukup sunyi meski sudah amat pagi. Orang-orang yang berlalu-lalang tidak terlalu banyak. Kendaraan pun turut bersembunyi, hanya sedikit yang berani menampakan diri. Di distrik tersebut saya juga bertemu dengan wajah yang familiar, orang gila yang saya temukan di PADALARANG kembali saya lihat. Masih dengan pakaian yang sama, polo shirt dengan motif garis hitam putih dan celana sotong ¾ berwarna cokelat. Dan masih mengenakan mimik wajah yang sama, sinis, muram dan tidak bersahabat. Selalu saja dia mengais-ngais tumpukan sampah untuk mencari sesuatu yang sampai sekarang tidak saya ketahui. Yang masih membuat saya heran adalah, apa yang ia cari dari perjalanan jauh dari PADALARANG hingga ke CIRANJANG saat ini. Apakah ia juga terinspirasi dari cerita Tong San Cong yang melakukan perjalanan untuk meperbaiki kualitas iman?. Terlintas dalam hati untuk menyapanya dan bertanya-tanya tentang tujuannya. Tetapi pikiran saya berkata lain, untuk mengurungkan niat hati, pikiran saya memberitahu saya bahwa saya dan orang gila tidak boleh menjalin komunikasi, karena hal itu dapat mengganggu kestabilitasan pikiran saya. Saya takut nanti orang gila itu mencuci otak saya untuk bergabung dengan kelompoknya. Lalu tanpa bertegur sapa saya meninggakan orang gila itu dan melanjutkan perjalanan menuju Kota Cianjur yang konon dihuni oleh ribuan gadis cantik.
Di dalam perjalanan ini, karakter yang saya miliki bukan hanya serupa dengan Tong San Cong, yang menginisiasikan perjalanan ke barat, atau serupa dengan Sun Go Kong, yang berani menghadapi segalanya sendiri. Tatapi terdapat juga karakter yang serupa dengan pangeran besar Tiang Feng atau Cu Pat Kai, yang mengharapkan bertemu bidadari di dalam perjalanan ini. Bidadari CIANJUR menjadi salah satu motivasi saya untuk kuat berjalan. Melawan rasa bosan dan sakit di tubuh. Kabar yang saya dengar, dahulu kala banyak orang Belanda yang bermukim di wilayah CIANJUR, sehingga mereka berinteraksi dengan warga lokal dan menghasilkan keturunan campuran yang sempurna. Oleh karena itu Kota CIANJUR termasuk salah satu Kota di Indonesia yang diisi oleh gadis-gadis yang cantik.
Dalam perjalanan menuju Kota CIANJUR, suara hati saya selalu menyemangati saya, dan mendorong saya untuk berdisiplin dalam menentukan waktu istirahat. Hati dan pikiran saya membuat peraturan, yaitu setiap 15 menit sekali pantat besar saya boleh diletakan di tanah, dan waktu untuk pantat saya tergeletak di tanah juga ditentukan, yaitu hanya 5 menit lalu melanjutkan perjalanan kembali. Dengan peraturan seperti itu, jam 14.00 saya beserta anggota tubuh saya berhasil mencapai CIANJUR Kota, tidak ada satu potongan pun yang tertinggal dari bagian tubuh saya. Setelah perjuangan yang hebat, mata saya disuguhi oleh sesuatu yang berbeda, tidak hanya banner raksasa petinggi pemerintah dan advertise board kapitalis yang menjengkelkan, tetapi terdapat juga gadis-gadis CIANJUR yang dapat dilihat. Tidak banyak memang gadis-gadis yang berkeliaran di jalanan, tatapi hal itu cukuplah untuk menyegarkan pemandangan saya yang terkontaminasi racun banner petinggi pemerintah dan advertise board kapitalis. Mugkin mereka banyak yang sedang berada di dalam rumah, karena cuaca yang konsisten panas ini membuat mereka mengurungkan niat untuk keluar rumah. Mereka khawatir panas matahari membakar kulit haritage Kota CIANJUR yang sangat berharga.
Untuk menghormati Kota cantik ini, saya memutuskan untuk mandi membersihkan segala ketidak sucian yang menempel pada tubuh, pikiran dan hati saya. Dan tempat yang dituju untuk melakukan ritual tersebut adalah pom bensin yang berada tidak jauh dari persimpangan BOGOR, SUKABUMI, CIANJUR. Ritual mandi harus saya lakukan dengan khusu’, tidak boleh ada sejengkal pun dari daerah tubuh saya yang tidak terkena sabun cair B*or*. Tidak boleh ada satu helai pun dari rambut saya yang tidak terkena shampoo harum P*nt*n*. Dan tidak boleh ada satu biji pun dari tulang kuat dalam mulut saya yang tidak tersikat sikat gigi plus pasta gigi P*ps*d*nt. Semua harus bersih, luar dan dalam. Setelah semuanya di basuh dengan air, tidak lupa sekujur tubuh saya saya keringkan dengan kanebo kering yang sengaja saya pergunakan sebagai handuk.
Bersih lah saya sekarang, dan lalu saya harus beristirahat di pinggir pom bensin sembari melihat keindahan Kota CIANJUR (meski yang terlihat hanya kendaraan dan pedagang kaki lima). Barulah jam 16.00 kembali kaki saya meminta saya untuk melangkah lagi. Mungkin sudah puas dengan Kota CIANJUR, sekarang kaki gemuk saya meminta untuk diberangkatkan ke CIPANAS. Jalan menuju CIPANAS mulai menunjukan hal yang berat, jalan menanjak akan saya hadapi sampai waktu yang tidak ditentukan. Mulai dari sini, kaki gemuk saya akan sangat diuji ketahananya. Dan pikiran saya akan diuji kecerdasannya dalam mengkontrol tubuh saya, dan tentu hati saya akan sangat diuji pula keteguhannya untuk tetap berusaha tanpa mengeluh. Sakit pasti akan terasa jika pikiran saya mengalah dengan perasaan itu. “Sakit hanyalah sebuah ilusi, ilusi itu berasal dari pikiran” hati saya berucap ketika pikiran hampir saja menyerah oleh rasa sakit. Memang jalan menanjak itu menguras tenaga dan pikiran, berulang kali hati menggagalkan pikiran dan tubuh untuk menyerah oleh rasa sakit. “ Sakit hanya lah konsep, konsep itu berasal dari pikiran, jika konsep dalam menentukan rasa sakit itu diganti dengan konsep yang membentuk rasa senang, maka jalan menanjak akan sangat menyenangkan” sekali lagi hati berceramah untuk menyemangati pikiran dan  tubuh yang sekilas tampak seperti tubuh yang tidak mempunyai tuan, berjalan gontai seperti tak bertulang.
Jam 18.00 saya mendengar suara yang paling menyemangati, yaitu suara Adzan Maghrib. Suara merdu yang mendirikan saya dari duduk saya, dan segera saya berhenti di Masjid yang sangat ramai. Sembari mengistirahatkan tubuh, saya juga mengistirahatkan hati menghadap yang Maha Kuasa. Sungguh nikmat sekali berwudhu ketika dalam keadaan lelah, tanpa disadari ada beberapa tetes air yang tertelan masuk kedalam kerongkongan saya. Selesai menjalankan Shalat Maghrib, saya langsung saja menuju ke warung kopi yang sudah agak menjauh dari cahaya terang, warung yang agak sepi. Kemudian saya memesan mie rebus dan tentu saja kopi hitam agar mata tetap melek kita berjalan malam hari. Warung kopi tersebut dihuni oleh pasangan suami istri yang sudah sangat paruh baya, mereka sudah berjualan sejak tahun 1996. Dari cerita mereka, dahulu jalanan yang ada disini sangat menyeramkan, tidak ada penerangan sama sekali, tidak seperti saat ini, yang sudah banyak bangunan yang terang benderang di kanan dan kiri jalan. Ada spot yang paling seram di sepanjang jalan ini, yaitu tepat di jembatan yang tidak jauh ari warung kopi mereka. Tempat yang sering ditemukan penampakan mahkluk yang lebih kesepian dibanding manusia. Di sana juga pernah menjadi tempat shooting program uji nyali yang disiarkan di televisi yang terkenal. “Dahulu juga meskipun jalanan tidak seramai sekarang, pembeli masih banyak yang berdatangan, tetapi sekarang walaupun sudah ramai, pembeli justru menjadi berkurang, entahlah mungkin para pembeli lebih menyukai tempat yang lebih modern dibanding tempat kecil yang tetap gelap” cerita pasutri tua dengan penuh antusias. Selanjutnya setelah puas menikmati cerita dan hidangan yang disajikan oleh pasangan suami istri tua tersebut, kaki saya mulai melangkah kembali.
“Sekarang jalanan sudah terang sampai CIPANAS, tidak perlu ada yang ditakutkan lagi” kata-kata pasutri sebelum berpisah terus terngiang untuk meruntuhkan rasa takut saya terhadap cerita yang sudah saya dengar. Baru saja berjalan sebentar ke depan, saya sudah menemukan kegelapan yang luar biasa gelap. Saya hanya mengandalkan cahaya kendaraan yang melintasi saya. Jika tidak ada kendaraan, saya hanya bisa berjalan sambil berdoa supaya kaki saya tidak masuk ke dalam lubang yang tidak diinginkan. Cerita pasutri tentang jalan yang sudah terang ternyata tidak benar. Apa mungkin konsep terang yang dimiliki pasutri dengan konsep terang yang saya miliki itu berbeda?. Berjalan di dalam kegelapan membuat semua bulu di sekujur tubuh saya merinding. Apa lagi ditambah dengan rasa lelah dan jalan yang menanjak, semakin membuat bulu saya terutama bulu kaki merinding dan berdampak terhadap melemasnya kaki gemuk saya. Dan klimaksnya, ketika saat semuanya melemas, saya mencium bau melati yang dikombinasikan dengan bau selokan di atas jembatan yang tadi diceritakan pasutri tua penjaga warung kopi tua, tanpa disadari air mata menetes bercampur keringat dingin. Di kanan kiri jalan dipenuhi oleh pohon besar, semak, sawah, kebun, dan bukit-bukit menjadi seperti sosok yang hidup yang terus mengamati saya. Tetapi rasa takut tersebut membuat kekuatan alami saya muncul, saya paksakan kaki lemas saya tetap malangkah. Agar terus kekuatan alami saya muncul dengan maksimal, tak henti-hentinya saya bernyanyi dan menepuk-nepuk pantat saya bak kuda yang disuruh berlari lebih cepat.
Setelah berjalan dengan mengeluarkan air mata selama satu jam, akhirnya cahaya terang menyinari wajah takut saya. Cahaya yang berasal dari Alf*m*art tersebut bagi saya seperti cahaya surga yang mangangkat saya dari dalam kegelapan. “Terima kasih Tuhan, Engkau telah mendirikan Alf*ma*rt yang terang itu di saat hamba Mu yang lemah ini membutuhkan cahaya untuk mengusir mahkluk jahat di sekitar hamba” ucapan yang teriring ketika saya melihat Alf*ma*rt yang begitu terangnya di hadapan saya. Tidak pikir panjang, langsung saja dengan cepat saya masuk ke dalam bangunan terang itu, dan mulai belanja makanan serta berkeluh kesah dengan kasir tentang apa yang sudah saya alami. “Ih aa, udah gak usah takut a, mungkin itu perasaan aa aja, yang penting niat kita baik a, pasti kita tidak akan di-apa-apakan sama mahkluk yang kaya begindang” terkejut saya ketika mendengar kasir pria yang berkepala plontos menceramahi saya dengan nada suara seperti perempuan setengah jadi. Tanpa berlama-lama lagi, saya cepat meninggalkan bangunan terang itu. Untung saja, setelah Alf*ma*rt, jalan di depan sudah tidak gelap lagi. PLN sudah memberikan penerangan yang layak untuk daerah itu. Dengan tanpa rasa takut saya melangkah. Yang tertinggal sekarang adalah rasa lelah dan kantuk yang menemani saya berjalan di jam 22.00 ini.
Karena rasa lelah tetap menempel pada tubuh saya yang cukup berbau ini. Saya putuskan untuk beristirahat di pom bensin yang saya temui selanjutnya. Pom bensin yang saya temui dan saya prospeksikan sebagai tempat bermimpi saya kali ini lumayan tua. Setelah bernegosiasi dengan cukup ketat dengan penjaga pom bensin, akhirnya saya mendapatkan izin bermalam di dalam mushola yang kecil. Kemudian saya langsung memperetelkan pakaian saya dengan menggantinya dengan pakaian siap tidur, dan menggosok gigi saya serta membersihkan kaki gemuk saya yang malang. Lalu siap lah saya untuk berbaring. Saya telusuri lagi kejadian barusan yang saya alami. Rasanya berjalan di tengah kegelapan barusan dirasa sangat lama sekali. Ketakutan yang tadi hilang kini kembali lagi. Saya lihat kanan kiri, ternyata daerah ini sangat sunyi sepi, aneh sekali perasaan saya. Lalu ketika saya memejamkan mata, dalam kegelapan saya merasa ada yang mengamati saya dan di dalam pikiran saya masih terngiang wangi melati dan selokan yang jelas tercium. Merinding seluruh bulu yang saya miliki. Saya paksakan rasa kantuk merayap mendatangi saya dengan berkhayal hal-hal yang indah. Kemudian lelap lah saya dalam mimpi.
Tanggal 11 Agustus 2012, tepat jam 03.00terdengar suara wanita tertawa membangunkan mimpi saya. Rasa aneh dan dingin kembali menyambut saya pulang dari mimpi. Apakah tawa wanita yang barusan saya dengarmerupakan bagian dari dalam mimpi saya?. Pikiran saya terus mencari pembenaran bahwa hal yang barusan saya dengar adalah bagian dari mimpi saya. Tanpa menunggu jawaban dahulu, saya mulai mempersiapkan diri untuk kembali melanjutkan perjalanan. Setelah pamit dengan penjaga pom bensin, saya tinggalkan pom bensin tersebut. Krongkongan saya sangat kering, tidak ada warung yang buka, saya hanya menelan ludah saja untuk membasahi krongkongan saya yang kering. Dan berjalan tidak jauh ke depan saya menemukan warung sate maranggi yang sedang ramai dipenuhi orang yang sedang mnyantap hidangan sahur mereka. Saya memesan satu porsi dan meminta air yang dari tadi saya dambakan untuk membasahi krongkongan saya.
Lahap saya habiskan tanpa sisa sate maranggi di hadapan saya, semoga makanan tersebut tidak hanya asal lewat perut saya dan meminta dikeluarkan kembali. Selanjutnya saya langkahkan kembali kaki gemuk berbulu kriting saya ke jalanan aspal. Untuk mengejar istana CIPANAS tempat tinggal Presiden kita ketika berlibur di daerah puncak. Istana yang saya nilai sangat biasa saja, malah justru terlihat seram. “kalaupun saya menjadi presiden, dan sedang berlibur di daerah puncak, saya tidak mau tinggal di bangunan yang seram itu” ucap saya sambil menunjukan jari telunjuk ke arah bangunan megah bergaya eropa klasik.
Jalanan menuju puncak yang biasanya terlihat ramai, kini sepi senyap, hanya sedikit kendaraan yang melintasi jalanan ini. Jam 06.00 saya berada di CIBODAS, tempat pendakian Gunung Gede-Pangrango. Dan tempat dimana saya mulai mengkuatkan tubuh, pikiran dan hati, karena di depan, sudah menunggu jalan menanjak yang cukup curam menuju Kota BOGOR untuk saya daki. Setelah kuat dengan segalanya, say mulai mendaki ke Kota BOGOR. Kaki saya harus kuat ketahanannya dalam melahap jalan menanjak ini, pikiran saya harus kuat keceradasanya dalam mngontrol tubuh saya untuk mengunyah jalan menanjak ini, dan hati saya harus kuat keteguhannya untuk tidak mengeluh menelan jalanan menanjak ini. Meskipun lelah, tetapi hal itu dapat dibayar dengan pemandangan yang menakjubkan. Mulai dari pemandangan maha luas dari Gunung Gede-Pangrango sampai yang eksotis pemandangan kebun teh yang menyerupai permadani hijau. Terlihat hal yang kontras ketika memasang pandangan melihat kawasan Gunung Gede-Pangrango. Perkampungan dengan hutan hidup berdampingan. Tapi saya yakin sepuluh tahun kedepan perkampungan akan melahap habis hutan kaki Gunung Gede-Pangrango. Dan ketika sudah sampai di Gapura selamat datang Kabupaten Bogor, kalau melihat kebawah, akan tersajikan sebuah pemandangan kebun teh yang terhampar luas, seperti sebuah permadani hijau yang luas dirobek oleh jalan yang berliku-liku menuju bawah.
Dari dekat gapura ini, saya dapat melihat tujuan transit saya, yakni Masjid At-Tawun. Karena jika melewati jalanan biasa akan terasa lebih jauh untuk menuju AT-Tawun, maka saya memilih melewati jalan pintas yang menusuk langsung menuju At-Tawun tanpa harus berkelak-kelok jauh. Jam 10.00 akhirnya saya dapat menyentuh Masjid yang paling terkenal di daerah puncak. Di sini saya luangkan perut saya untuk mengeluarkan bebannya, dan membiarkan mata saya terpejam menunggu matahari di luar menurunkan kadar panasnya. Dari awal saya melangkah, cuaca sangat konsisten menurunkan panasnya. Tak ada sedikit mendung pun yang memayungi saya berjalan.
Jam 12.00 setelah mengerjakan shalat Dzuhur, saya langkahkan kembali kaki saya ke dunia luar yang panas. At-Tawun tak pernah sepi dari pengunjung, bukan hanya pengunjung yang berniat mengerjakan Shalat saja yang datang berkunjung, tetapi banyak juga yang hanya menikmati At-Tawun tanpa mengerjakan Shalat. Berjalan menurun, pikir saya akan lebih mudah dibanding dengan berjalan mendaki. Pikiran saya salah, alangkah sakitnya kaki ketika berjalan menurun. Perih telapak kaki, seperti berjalan di atas bara. Huh, tulang seperti rontok semua. Menurun ternyata lebih berat dari menanjak. Kaki saya harus menopang beban tubuh. Mengapa tak di buat eskalator saja agar memudahkan pejalan kaki?. Andai kaki saya mempunyai roda, mungkin tak akan terasa sakit seperti ini, dan perjalanan pun akan cepat diselesaikan.
“Hei, cukup berandainya, kita harus menerima semua ini sebagai tantangan, bukan rintangan. Sakit yang saat ini saya rasakan akan menjadi cerita manis di akhir perjalanan saya. Sakit hanya ilusi, ilusi datangnya dari otak. Otak saya cukup cerdas untuk mengusir delusi ini. Nikmati saja semuanya, perjalanannya, sakitnya, delusinya, asap knalpotnya, tanjakannya, turunannya, panasnya, lelahnya, dan keringatnya. Yakini semuanya akan dibayar dengan harga yang sesuai dengan perjuangan yang sudah saya lakukan dalam menimati perjalanan ini.”
Masih dalam jalan yang menurun terjal, di depan saya sudah dihadang oleh tawuran anak bau kencur. Cukup ramai, kira-kira berjumlah lebih dari 20 kepala. Mereka saling meneriaki dengan kata-kata kasar dan membawa beberapa alat perang, seperti gir yang dikaitkan dengan ikat pinggang dan ada pula yang membawa kayu panjang. Batu berterbangan ke segala arah. Untuk menghindari itu semua, saya memilih berdiam diri, sembari beristirahat dan menikmati pertempuran anak SMP, setelah mereka bosan mengejar cita-cita di dalam sekolah. Untung saja kejadian tersebut tidak berlangsung lama. Mereka terhenti karena kedua belah pihak sudah merasa lelah. Dan masing masing pulang ke arah yang berlawanan. Sebagian ke arah At-Tawun, dan sebagian lagi ke arah Kota BOGOR.
Lalu, giliran saya yang melanjutkan pertempuran saya dengan keinginan saya, yang sudah berlangung 3 hari tanpa henti. Lemparan kata-kata berterbangan di dalam kepala saya, satu pihak melemparkan kata-kata untuk menyerah, yang satu lagi melemparkan kata-kata pemberi semangat. Seringkali saya mengistirahat kan tubuh saya. Tak seperti di jalan yang lurus, saya dapat membuat peraturan 15 menit sekali istirahat, dan beristirat hanya 5 menit. Jalan menurun membuat saya sulit untuk mematuhi peraturan tersebut. Jalan sudah sangat melambat, ditambah dengan istirahat yang sering dilakukan, membuat saya hanya pasrah untuk melangkahkan kaki. Entah kapan saya akan sampai JAKARTA, sudah tidak menjadi sesuatu yang penting lagi. Saya hanya ingin menjadi kapas yang berterbangan mengikuti arah angin. Merasakan arah nasib membawa saya entah kemana. Pasrah dan menyerah adalah sesuatu yang berbeda. Mengikuti arah nasib bukanlah bagian dari kata menyerah, hal itu lebih diartikan sebagai mengakui bahwa kita adalah mahkluk kecil ciptaan Tuhan, yang tidak akan mendapatkan apa-apa tanpa bantuanNya.
Semakin dekat dengan arah CIAWI, jalanan semakin dipadati oleh kendaraan yang tidak bisa berjalan alias macet. Jalan menuju puncak memang dikenal sebagai jalanan dengan kemacetan abadi. Apalagi ini adalah hari Sabtu. Warga pecinta malam minggu akan merayakannya di luar rumah. Dan luar rumah yang sering dituju untuk merayakan malam minggu adalah PUNCAK dan sekitarnya. Warga Ibu Kota pun tidak sedikit yang merayakannya di daerah PUNCAK dan sekitarnya. Itulah mengapa daerah ini selalu macet tiap weekendnya. Benar saja, CIAWI dipenuhi oleh banyak anak muda yang sedang merayakan malam minggu di luar rumah. Kaki lima pun tidak mau ketinggalan untuk merayakan malam minggu. Mereka merayakannya hingga nyaris ke tengah jalan. Bunyi klakson kendaraan yang tidak mau bersabar menambah kemeriahan malam minggu di CIAWI. Karena pusing dengan suasana kemeriahan seperti itu, saya pun dengan melangkah cepat meninggalkan kemeriahan tersebut. TAJUR menjadi daerah selanjutnya yang saya kunjungi. Di sini pula saya bersiap untuk bertemu mimpi. Karena jam pun sudah menunjukan jam 22.00, langsung saja saya pilih masjid yang berada di pinggir jalan TAJUR. Sialnya, masjid dikunci, mau bagaimana lagi, karena kaki sudah sangat lelah juga setelah banyak memakan jalan menurun, saya paksakan untuk berbaring di selasar masjid. Semoga saja tidak kecurian. Saya langsung mengenakan sleeping bag dan mulai memejamkan mata. Belum sempat membangun mimpi, nyamuk-nyamuk mulai mengajak saya berperang. Bunyi desingan nya sangat mengganggu, bagai suara jet Amerika yang sedang menggempur perkampungan di Vietnam. Ini adalah tidur yang paling tidak nyenyak selama saya melakukan perjalanan ini. Nyamuk disini sangat cerdas dan ganas. Sleeping bag yang saya kenakan tidak mampu mengamani kulit berwarna saya dari tusukan moncong runcing nyamuk keji tidak berbelas kasih. “Gangguan adalah konsep, konsep itu berasal dari otak. Jika otak saya mengatakan nyamuk bukanlah sebuah gangguan, maka kehadiran nyamuk tidak akan jadi gangguan buat saya”. Dengan mengatakan hal itu berulang kali, saya pun tertidur di tengah Bloody War antara kulit dengan nyamuk.
Tanggal 12 Agustus 2012, bukan hanya nyamuk yang membuat tidur saya tanpa mimpi. Ada juga warga sekitar yang mondar-mandir di sekitar tidur saya, tidak jelas mencari apa. Setelah tidur yang tanpa mimpi itu, jam 03.00 saya mulai bergegas untuk melangkahkan kaki gemuk berbulu kriting saya kembali. Jalan terlihat msih lenggang, kendaraan masih sedikit yang dapat dijumpai. Di trotoar jalan pun, para Homeless masih tertidur pulas, sepertinya lebih pulas dibanding dengan tidur saya. Berkali-kali angkutan kota malam berhenti di depan saya, menawarkan jasa nya kepada saya. Menggoda saya untuk masuk dan melemaskan kaki saya yang masih lemas digerakan. Tetapi niat saya bulat, tidak kotak, ataupun segitiga. Perjuangan saya akan saya selesaikan di hari ini, tanpa bantuan roda-roda yang memuntahkan Timbal dan CO2 ke angkasa.
Di pagi hari, keramaian mulai berseliweran, banyak dari mereka yang mengenakan pakaian olahraga. Minggu pagi memang sangat cocok untuk berolahraga. Apalagi minggu ini langit sangat cerah sekali. Mulai dari anak-anak sampai lansia mulai memenuhi pemandangan Kota BOGOR untuk berolahraga pagi sambil menikmati cerahnya pagi. Tanpa tergoda untuk melakukan olahraga, saya tetap berjalan menuruni Kota BOGOR. Karena saya rasa raga saya sudah sangat lelah untuk diolah terus menerus sejak perjalanan aneh ini saya mulai. Pikiran dan hati pun tak luput dieksporasi tenaganya dalam perjalanan ini. Tak terasa matahari pagi sudah menerangi jalan saya. Dari semua hari yang aku lalui, pagi adalah hari yang paling saya sukai. Pagi adalah awal, lalu ketika siang tiba, rasa nya kebahagian mulai memudar, dan malam yang paling saya benci.
Jam 06.30 saya lihat ada sebuah counter pulsa yang buka di dekta perempatan jalan menuju ke Parung, langsung saja saya masuk, dan menumpang men-charge cellphone saya yang kehabisan tenaga sejak di At-Tawun. Setelah itulah saya kehilangan komunikasi dengan keluarga dan teman-teman saya yang sudah mendoakan perjalanan saya.Semoga saja mereka tidak khawatir dengan keadaan saya. Baru beberapa menit cellphone saya di-charege, ada panggilan masuk, dan nama yang tertulis di layar cellphone adalah ‘mamah’.
“sedang dimana a? Katanya lagi jalan kaki dari NANGOR? Bagaimana keadaanya? Cepat pulang jangan bikin keluarga khawatir! Hari ini harus sampai rumah.” Dengan penuh rasa khawatir Ibu saya menelpon.
“Ia bu, hari ini emang direncanakan akan sampai di rumah, jadi tunggu aja, gak perlu khawatir, aa baik baik saja di sini, yang penting doanya aja bu.” Jawab saya tenang, mungkin karena perjalanan ini, membuat diri saya semakin tenang menghadapi segala tuntutan. Perjalanan ini berhasil merubah saya. Semoga bukan perubahan yang sesaat, tetapi perubahan yang permanen.
Dengan harapan yang besar dari keluarga untuk berada dirumah hari ini juga, membuat saya terpacu untuk melangkah lebih cepat. Namun dimana ada motivasi besar, disana pula ada tantangan yang besar. Panas jalanan kali ini tampak sangat kejam. Setelah habis udara sejuk nan dingin dari Kota BOGOR, kini saya menghadapi raja terakhir, yaitu panasnya Jalan Raya Bogor yang menuju langsung ke arah Raja Panas, JAKARTA. Berkali-kali saya meneduh di depan Alf*m*rt sambil menikmati jajanannya yang membasahi kerongkongan saya. Nikmat sekali, sepertinya air akan lebih terasa nikmat ketika kita melakukan perjalanan panjang, dan beristirahat akan terasa jauh lebih nikmat ketika kita melakukan perjalanan panjang juga.
Perbedaan atmosphere antara Kota Bogor dan Cibinong bagai bumi dengan langit. Cibinong jauh sangat tidak dingin dibanding Kota Bogor. Mungkin Dia sudah didoktrin oleh Ibu Kota untuk tidak lagi menjadi Kota yang sejuk. Ibu Kota memang lebih kejam dibanding ibu tiri. Baru saja jarum jam menunjuk pada angka 10, temperature CIBINONG sudah menghanguskan kulit saya dan mendidihkan darah saya.
“Saya harus cepat meninggalkan kota ini, jika tidak mau mati kepanasan” pikir saya setelah melihat kulit tubuh semakin legam. Sesekali aku melirik kaca jendela pertokoan dipinggir jalan untuk mengobati mata dari rasa rindu melihat wajah sendiri. Dekil, kumuh, prihatin. Wajah saya seperti film yang menggambarkan kesengsaraan warga afrika yang sedang dilanda perang saudara dan kelaparan. Jalan Raya Bogor yang menusuk CIBINONG seperti tidak ada habisnya. Saya mulai mengalami fatamorgana. Saya sering berhalusinasi jembatan layang Pasar Rebo yang sering dijadikan tempat pacaran warga sekitar berada di depan pandangan saya. Saya tahu itu hanyalah fatamorgana, yang harus disingkirkan. Saya harus merasakan jarak yang tidak lama lagi akan saya kalahkan. Fatamorgana yang memanjakan ini bukanlah sesuatu yang baik. Ia akan melemahkan saya, melemahkan perjuangan saya. Kadang hal yang membuat mudah jalan kita, adalah hal yang buruk untuk pertumbuhan kekuatan kita. Kita harus mencari tantangan yang hebat untuk membantu pertumbuhan kekuatan kita. Karena seoarang pelaut yang hebat, dilahirkan dari ombak yang besar. Jadi, saya tidak akan menerima kemudahan yang diberikan oleh fatamorgana. Saya tidak akan mau dimanjakan oleh fatamorgana.
Matahari sore menyambut saya di Kota Depok, yang masih dapat terdengar suara persuasif kondektur bus mengajak orang-orang disekitarnya untuk bergabung bersamanya di dalam bus rongsoknya. Terdengar juga PKL yang tumpah hingga ke jalan meneriaki dagangannya yang tak kunjung laku. Sore yang sangat ramai di Kota DEPOK. Karena keramaian tersebut aklerasi langkah saya harus diturunkan. Seperti kendaraan beroda, kaki para pejalan kaki pun melangkah tak selancar biasanya.
Malam pun tak mampu mengurangi keramian jalan, malah semakin padat. Tapi malam berhasil mendinginkan jalan. Jalan menjadi terlihat lebih bersahabat dengan kaki saya. Kulit tubuh saya yang legam jadi tersamarkan oleh redupnya cahaya bulan. Malam yang cerah ini juga mengantarkan saya memasuki Ibu Kota JAKARTA. Tepat jam 22.00 dan dengan hanya tersisa semangat saja, saya benar-benar melihat jembatan layang Pasar Rebo yang menjadi titik akhir perjalanan panjang saya bersama kaki saya. Tak menunggu lama untuk beristirahat, saya langsung langkahkan kaki saya ke dalam bus terakhir yang akan mengantarkan saya ke Tangerang. Untungnya bus tidak terisi penuh, saya bisa meletakan pantat saya yang lelah dan meluruskan kaki saya yang lelah. Dengan tubuh yang bau akan perjalanan, semoga saja tidak merusak selera istirahat orang orang di dekat saya.
Lima hari sudah saya berjalan dari Jatinangor ke Jakarta yang berjarak kurang lebih 180 km. Semoga perubahan-perubahan yang sedikit saya rasakan dapat berlangsung lama menuju hal yang positif. Dan dengan menoleh ke jendela bus, saya mengucapkan kepada perjalanan saya. “Semoga kita dapat bertemu kembali” ucap saya ketika hendak meninggalkan perjalanan panjang ini.